Suara.com - Pemerintah China mengejutkan masyarakat Hong Kong saat mengumumkan sedang membahas rancangan undang-undang keamanan nasional untuk diterapkan di kota tersebut.
Pejabat keamanan Hong Kong John Lee mengatakan RUU kontroversial itu diperlukan untuk menangani "meningkatnya terorisme" karena apa yang ia sebut wilayah itu telah tertutup "bayangan kekerasan".
Setelah berbulan-bulan tenang, akhir pekan lalu Hong Kong kembali terguncang protes setelah pemerintah Beijing mengusulkan RUU keamanan yang secara radikal akan mengubah status unik Hong Kong.
Banyak kalangan cemas beleid itu akan menjadi akhir bagi beragam kebebasan yang dirasakan warga Hong Kong.
Apa saja yang sudah kita ketahui tentang peraturan itu? Dan hal apa yang paling dianggap mencemaskan?
Apa isi aturan hukum itu?
Yang pertama harus diketahui, rancangan undang-undang ini belum disahkan atau berlaku.
Pemerintah China baru memasukkan usul pembentukannya untuk mendapat persetujuan parlemen.
Pekan ini badan legislatif China dijadwalkan akan menggelar jajak pendapat untuk menerima atau menolak usulan itu. Walau hampir seluruh kalangan yakin mereka pasti akan menyetujuinya.
Baca Juga: PSBB Surabaya Raya Diperpanjang Sampai 8 Juni
Jika parlemen setuju, barulah draf utuh RUU Keamanan Nasional itu disusun.
Jadi hingga saat ini sangat sedikit detail yang sudah diketahui. Namun, RUU itu setidaknya akan mengatur perbuatan melawan hukum yang berupa:
upaya memisahkan diri atau merdeka dari China subversi atau merongrong otoritas pemerintah pusat terorisme atau penggunaan kekerasan atau intimidasi terhadap masyarakat aktivitas entitas asing yang mengintervensi Hong Kong
Salah satu yang dicemaskan adalah dasar hukum yang memungkinkan China membentuk sebuah badan yang berkedudukan di Hong Kong, yang berwenang mengendalikan keamanan kota itu.
Artinya, China akan mengendalikan lembaga keamanan tersendiri di Hong Kong, di luar badan penegak hukum yang dimiliki pemerintahan setempat.
Apa alasan China membuat undang-undang keamanan ini?
Hong Kong dikembalikan ke China oleh pemerintah Inggris tahun 1997 melalui sebuah perjanjian bilateral unik. Beleid yang dikenal sebagai UU Dasar itu memuat prinsip 'satu negara, dua sistem hukum'.
Produk hukum itu dibuat untuk melindung hak asasi penduduk Hong Kong, dari kebebasan berkumpul dan berbicara, badan peradilan independen, hingga hak dasar lainnya.
Beragam hak tersebut tidak dinikmati masyarakat China di luar Hong Kong.
Di bawah perjanjian antara Inggris dan China, sebagaimana tertera dalam Pasal 23 UU Dasar itu, pemerintah Hong Kong berhak membentuk undang-undang keamanan mereka sendiri.
Tahun 2003 pemerintah Hong Kong pernah berniat membuat ketentuan itu. Namun karena substansinya ditolak banyak pihak, rencana itu dibatalkan.
Tahun 2019, unjuk rasa terhadap ketentuan yang memungkinkan ekstradisi penduduk Hong Kong ke China berakhir ricuh. Penolakan itu meluas menjadi gerakan anti-China dan gerakan pro-demokrasi.
Mengapa warga Hong Kong cemas?
Karena draf RUU Keamanan itu belum disusun, sulit untuk membicarakan sesuatu yang konkret. Namun pada dasarnya masyarakat Hong Kong cemas kehilangan hak dan kebebasan yang selama ini mereka jalankan.
Pakar isu China, Willy Lam, memprediksi undang-undang itu akan menjatuhkan hukuman untuk orang-orang Hong Kong yang mengkritik otoritas di Beijing. Situasi itu sudah dirasakan masyarakat di China daratan.
Undang-undang ini diyakini akan berdampak pada hak berpendapat dan berunjuk rasa. Di China, dua hal itu dianggap sebagai subversi.
Sejumlah aktivis pro-demokrasi Hong Kong, seperti Joshua Wong, selama ini melobi pemerintah negara lain untuk menyokong gerakan mereka. Yang dilakukan Wong, jika undang-undang itu berlaku, akan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Banyak juga yang khawatir sistem peradilan Hong Kong akan dibuat mirip dengan yang berlaku di China.
"Hampir semua kasus tentang keamanan nasional digelar secara tertutup. Tidak pernah jelas apa dakwaan dan buktinya.," Johannes Chan, profesor ilmu hukum di University of Hong Kong.
"Terminologi keamanan nasional sangat kabur dan bisa mencakup berbagai hal," tuturnya.
Masyarakat Hong Kong juga khawatir bahwa ancaman terhadap hak asasi mereka akan berdampak pada status mereka sebagai salah satu pusat bisnis dan ekonomi dunia.
Bisakah China meloloskan rencana mereka?
Perjanjian penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China menyatakan, hukum yang berlaku di China tidak bisa diterapkan di Hong Kong, kecuali yang sudah terlampir dalam Annex III.
Ketentuan yang masuk dalam lampiran itu sejauh ini tidak memicu kontroversi dan berkisar urusan kebijakan luar negeri.
RUU Keamanan Nasional ini pun bisa diterapkan melalui sebuah dekrit. Artinya, pemerintah China dapat mengabaikan sikap dan prosedur di parlemen Hong Kong.
Pimpinan Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, sebelumnya sudah berkata dia akan membantu pemerintah China.
Para pengkritik China menyebut ketentuan hukum itu akan menabrak prinsip 'dua sistem, satu negara' yang sangat penting dalam pemerintahan Hong Kong.
Profesor Johannes Chan berkata, memasukkan hukuman pidana apapun ke dalam Annex III harus melalui persetujuan parlemen Hong Kong.
Alasannya, kata dia, China dan Hong Kong memiliki sistem hukum yang sangat berbeda.
"Nilai-nilai dalam sistem hukum pidana di dua yuridiksi ini sangat berbeda sehingga ketentuan apapun hanya bisa diberlakukan oleh Hong Kong, bukan oleh pemerintah China," tuturnya.
Rencana pembentukan UU Keamanan Nasional untuk Hong Kong pun, menurut Chan, bertentangan dengan pasal 23 dalam UU Dasar.
Menurut Chan, Hong Kong semestinya membuat UU Keamanan Nasional versi mereka sendiri.
Artinya, pemerintah Hong Kong masih harus membentuk beleid itu, yang kemunginan besar akan membuat situasi lebih pelik.
Berita Terkait
-
Tak Hanya Soal Ekonomi! Celios Ungkap Jejak Tiongkok di Indonesia Makin Meluas, Ini Buktinya
-
Dunia Terbelah: Media China Puji Stabilitas, Barat Cemas usai Prabowo Copot Sri Mulyani
-
Sinopsis Those Flowers, Drama China Terbaru Wu Jin Yan dan Jiang Shu Ying
-
Sinopsis dan Jadwal Tayang The Dauntless Youths, Drama China Baru Zhang Kangle
-
Indonesia Turunkan 12 Wakil di Hong Kong Open 2025, Fajar/Rian Mundur
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Pede Tingkat Dewa atau Cuma Sesumbar? Gaya Kepemimpinan Menkeu Baru Bikin Netizen Penasaran
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
Terkini
-
Tim Pencari Fakta Pertanyakan Peran Kompolnas Usut Pertanggungjawaban Komando di Kasus Affan
-
17+8 Tuntutan, Minus Bumi: Pakar Ungkap Agenda Ekologi yang Terlupakan!
-
Blak-blakan, Mahfud MD Ungkap Alasan Prabowo Akhirnya Mau Dengar Aspirasi Rakyat
-
Terima Aduan Ojol, Pimpinan BAM DPR Minta Aplikator Hapus Asuransi yang Merugikan
-
Sri Mulyani Pergi Karena Kesal Karena Pertahanan Negara Jebol Dan Rumahnya Dijarah? Ini Kata Pakar
-
Siapa Charlie Kirk: Loyalis Donald Trump yang Tewas Ditembak saat Acara Kampus
-
Waspada Cuaca Kamis Ini! BMKG: Hujan Petir Mengintai Jakarta, Mayoritas Kota Besar Basah
-
Kompolnas di Kasus Affan Dikritisi, Alih Lakukan Pengawasan, Malah jadi Jubir dan Pengacara Polisi!
-
IPA Pesanggarahan Resmi Beroperasi, Sambungkan Layanan Air Bersih ke 45 Ribu Pelanggan Baru
-
17+8 Tuntutan Rakyat Jadi Sorotan ISI : Kekecewaaan Masyarakat Memuncak!