Dalam satu kasus di London, seorang siswa dari Singapura dipukuli oleh sekelompok pria yang diduga berkata: "Saya tidak ingin virus corona Anda ada di negara saya."
"Hampir setiap hari saya mendapat komentar, hanya karena saya orang Asia, menghubungkan saya dengan Covid," kata Yambao.
"Dan ini bukan hanya online - gambar-gambar ini memiliki dampak kehidupan nyata, karena mereka menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi orang Asia dan menormalkan rasisme dan xenofobia terhadap mereka." sambungnya.
Sang pencipta gambar tersebut mengatakan bahwa ia membuatnya tidak bertujuan untuk melakukan tindakan rasis, dan karya seni mereka sebelumnya juga menampilkan karikatur sejumlah pemimpin dunia.
"Niat saya hanya untuk membodohi Xi [Jinping] / PKC [Partai Komunis China] BUKAN membuat komentar rasis yang menyakiti banyak orang, tetapi saya tidak sengaja melakukannya, dan sekali lagi saya meminta maaf kepada Anda yang merasa seperti itu, "tulis sang seniman di akun Instagramnya.
Menurut pengakuannya kepada BBC, seniman tersebut mengatakan insiden itu adalah contoh baku dari cancel culture, dan berpendapat bahwa tidak ada keluhan rasisme tentang karya seninya.
Sang seniman berpendapat bahwa cancel culture adalah "bahaya yang lebih besar bagi masyarakat daripada karya seni mana pun".
Namun, Yambao mengatakan tanggapan sang seniman adalah bukan permintaan maaf. "Itu berasal dari tempat ketidaktahuan - bahwa dia tidak mengharapkannya menjadi rasis atau dianggap rasis ... Saya mendukung kebebasan berekspresi oleh seniman, tetapi saya hanya berharap dia tahu apa dampak dari karyanya." ujar Yambao.
"Di masa-masa gila ini, ketika jutaan orang terkena penyakit ini dan ratusan ribu orang telah meninggal dunia, dan dunia sudah dalam keadaan yang begitu buruk, apakah kita benar-benar perlu membuat karya seni yang memecah belah di luar sana, itu bisa jadi disalahartikan oleh siapa?" Yambao bertanya.
Baca Juga: Rumor! Huawei Bakal Jual Honor?
Organisasi Kesehatan Dunia juga memberikan peringatan agar tidak mencantumkan atau menyebut tempat atau etnis sebagai pandemi.
"Ini bukan 'Virus Wuhan', 'Virus China' atau 'Virus Asia'," jelas WHO dalam pedoman yang dikeluarkan awal tahun ini, menambahkan bahwa "nama resmi untuk penyakit itu sengaja dipilih untuk menghindari stigmatisasi".
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Sepatu New Balance Diskon 70 Persen di Sports Station, Mulai Rp100 Ribuan
- Petugas Haji Dibayar Berapa? Ini Kisaran Gaji dan Jadwal Rekrutmen 2026
- Liverpool Pecat Arne Slot, Giovanni van Bronckhorst Latih Timnas Indonesia?
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Shio Paling Beruntung Besok 25 November 2025, Cuan Mengalir Deras
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Diminta Jangan Banyak Omon-omon, Janji Tak Tercapai Bisa Jadi Bumerang
-
Trofi Piala Dunia Hilang 7 Hari di Siang Bolong, Misteri 59 Tahun yang Tak Pernah Tuntas
-
16 Tahun Disimpan Rapat: Kisah Pilu RR Korban Pelecehan Seksual di Kantor PLN
-
Harga Pangan Nasional Hari Ini: Cabai Makin Pedas
-
FIFA Atur Ulang Undian Piala Dunia 2026: 4 Tim Unggulan Dipastikan Tak Segrup
Terkini
-
Anggota DPRD Bekasi Diduga Keroyok Warga di Restoran, Korban Dipukul Botol hingga Dihajar Kursi!
-
Gus Tajul Tegaskan Surat Pemberhentian Gus Yahya Sah, Meski Tanpa Stempel Resmi PBNU
-
Pemerintah Usul Hapus Pidana Minimum Kasus Narkotika, Lapas Bisa 'Tumpah' Lagi?
-
Heboh SE Pencopotan Gus Yahya, Komando PBNU Diambil Alih KH Miftachul Akhyar
-
Rano Karno: Lewat LPDP Jakarta, Pemprov DKI Kejar Tambahan Tenaga Dokter Spesialis
-
Katib PBNU Tajul Mafakhir ke Gus Yahya: Tak Terima Dicopot? Bawa ke Majelis Tahkim
-
BPJS Kesehatan Ungkap Data Mengejutkan: 454 Puskesmas Belum Memiliki Dokter Umum
-
Penyisiran Ulang Sungai di Bogor, Polisi Temukan Rahang Bawah Diduga Milik Alvaro
-
Pakar Hukum UGM Ingatkan KPK Soal Kasus ASDP: Pastikan Murni Fraud, Bukan Keputusan Bisnis
-
Polisi Jadi 'Beking' Korporasi Perusak Lingkungan, Masyarakat Sipil Desak Reformasi Mendesak