Suara.com - Persidangan kasus dugaan korupsi PT Asabri diwarnai kericuhan dan memicu kemarahan majelis hakim. Pasalnya, para terdakwa menolak disidangkan secara bersamaan.
Mereka beralasan karena tempus perkara dan peran para terdakwa yang berbeda-beda sehingga dianggap tidak efektif dan akan mengaburkan peran masing-masing.
Seperti yang disampaikan Kuasa Hukum Benny Tjokrosaputro yaitu Fajar Gora bahwa hak para terdakwa jika tidak ingin disidangkan secara bersamaan.
Ia pun mengungkap alasan-alasan keberatan kliennya jika disidangkan bersama-sama.
"Nomor perkara dari 8 terdakwa tersebut kan berbeda. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada masing-masing terdakwa juga berbeda," kata Fajar ditulis Jumat (17/9/2021).
Menurutnya aneh, jika perkara tersebut diperiksa secara bersamaan.
"Bahkan, majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini juga cuma satu," ujarnya.
Selain itu, jika perkara tersebut digabungkan maka akan memakan waktu sangat lama dan bisa berpengaruh terhadap putusan hakim.
"Mungkin saja, karena terlalu lelah maka bisa saja berpengaruh tidak saja pada majelis hakim, tapi juga saksi, dan penasehat hukum para terdakwa," katanya.
Baca Juga: Tiga Tersangka Baru Asabri Berstatus Terpidana dan Terdakwa Kasus Pertamina-Danareksa
Ia pun membandingkan dengan kasus manajer investasi Jiwasraya yang disidangkan secara terpisah.
"Di mana ada 13 terdakwa, namun banyak majelis hakim yang menyidangkan, sehingga sidang dapat dilakukan secara terpisah dan efektif," katanya.
Senada kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk juga menyebutkan bahwa keberatan yang disampaikan oleh para kuasa hukum bukanlah untuk membuat kericuhan namun bagian dari usaha membela hak-hak para terdakwa.
"Alasan kami untuk menolak sidang bersamaan sangat jelas, yang pertama sebagaimana diketahui berkas perkara 8 terdakwa dilimpahkan ke pengadilan secara terpisah sehingga ada 8 nomor perkara," ujar Kresna.
Menurutnya, dengan adanya perbedaan nomor perkara tentunya sidang harus dilakukan secara terpisah sebagaimana nomor perkara masing-masing terdakwa.
"Kalau dari materi, tentunya jelas bahwa uraian kepada setiap terdakwa baik tempus ataupun perbuatannya berbeda-beda dan tidak saling berkaitan, sehingga tidak mungkin disidangkan bersamaan," kata dia.
Terkait dengan alasan teknis, menurutnya juga sangat menyulitkan para penasehat hukum dalam melakukan pembelaan. Karena apabila digabung, jumlah penasehat hukum yang dibolehkan bersidang hanya dua orang.
"Sehingga kami tidak mungkin melakukan pembelaan secara maksimal, mengingat berkas perkara ini sangat banyak," ujarnya.
Kresna menyebut bahwa kondisi tersebut pun sangat menyulitkan apabila 8 terdakwa disidangkan oleh majelis hakim yang sama. Menurutnya, ada baiknya majelis hakim ditambah dan dipecah setiap perkaranya, sehingga akan memudahkan persidangan.
"Selain itu juga, demi para saksi juga yang apabila majelisnya tetap sama, mereka harus hadir 3 hari berturut-turut, apabila majelis dipecah dan ditambah, tentunya pemanggilan para saksi dapat diatur secara silih berganti dan sidang lebih efektif," lanjutnya.
Menanggapi kondisi tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyarankan lebih baik dalam proses pengadilan hukum perkara Asabri dilakukan secara terpisah.
"Ini lebih baik dipisahkan sesuai dengan porsi, karena kasusnya kan beda-beda tidak bisa dijadikan satu. Terlebih ini kasus berat, kasus korupsi triliunan," ujar Trubus.
Menurutnya, itu dilakukan agar dalam proses pembuktiannya lebih valid dan juga saksi-saksi yang dihadirkan lebih leluasa dalam memberikan kesaksian.
"Karena per-kasusnya juga berbeda, berkaca dari kasus 13 MI di Jiwasraya memang harus dipisahkan. Nggak bisa dengan cara disatukan seperti itu, nanti hakimnya tidak fokus, jadi putusannya kurang akurat," ujarnya.
Trubus mengatakan lebih tepat dan ideal jika setiap terdakwa disidangkan secara terpisah. Karena, Asabri merupakan kasus yang besar dan nilainya triliunan.
"Jadi ini harus terpisah secara sendiri-sendiri dan diproses sesuai dengan aturan yang berlaku sesuai dengan UU yang ada, alat bukti yang ada, semuanya harus fight itu" kata dia.
Menurutnya dengan pemisahan sidang perkara di tiap berkas terdakwa, maka proses pembuktian harus dilakukan secara adil, agar majelis hakim dalam putusannya sesuai dengan bukti yang ditunjukkan.
"Itu yang diperlukan, karena ini kan persoalannya tahap pembuktiannya adalah momen yang paling berat. Itu menurut saya agar keyakinan hakim tetap tinggi, jadi didalam proses pembuktian perlu adanya bukti-bukti yang valid dan akurat, tentu memerlukan tenaga serta pemikiran tidak sedikit," kata dia.
Sementara praktisi hukum, Bob Hasan mengatakan seharusnya para terdakwa melalui kuasa hukum berjuang melalui peluang yang disediakan dalam proses eksepsi, sayangnya agenda tersebut telah terlalui.
"Sehingga pelaksanaan persidangan yang menjadi perselisihan tersebut berujung pada penolakan keberatan tersebut, namun demi kelancaran proses penegakan hukum maka seharusnya majelis berkenan mendengarkan alasan para terdakwa yang meminta pemisahan proses persidangan," katanya.
Ia pun mencontohkan terkait dengan kasus Manager Investasi dalam perkara Jiwasraya yang eksepsinya diterima oleh majelis hakim.
"Contoh kasus koorporasi Manager Investasi, awalnya terjadi penggabungan atau penyatuan oleh jaksa dalam dakwaan pada satu nomor perkara. Setelah persidangannya dilakukan terpisah sesuai dengan nomor perkaranya maka saya yakin majelis, penuntut umum, kuasa hukum dan terdakwa dapat lebih fokus pada perkaranya masing-masing” lanjutnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Media Lokal: AS Trencin Dapat Berlian, Marselino Ferdinan Bikin Eksposur Liga Slovakia Meledak
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
Terkini
-
Sejarah Panjang Gudang Garam yang Kini Dihantam Isu PHK Massal Pekerja
-
Pengamat Intelijen: Kinerja Listyo Sigit Bagus tapi Tetap Harus Diganti, Ini Alasannya
-
Terungkap! Rontgen Gigi Hingga Tato Bantu Identifikasi WNA Korban Helikopter Kalsel
-
Misteri Dosen UPI Hilang Terpecahkan: Ditemukan di Lembang dengan Kondisi Memprihatinkan
-
Dugaan Badai PHK Gudang Garam, Benarkah Tanda-tanda Keruntuhan Industri Kretek?
-
Israel Bunuh 15 Jurnalis Palestina Sepanjang Agustus 2025, PJS Ungkap Deretan Pelanggaran Berat
-
Mengenal Tuntutan 17+8 yang Sukses Bikin DPR Pangkas Fasilitas Mewah
-
IPI: Desakan Pencopotan Kapolri Tak Relevan, Prabowo Butuh Listyo Sigit Jaga Stabilitas
-
Arie Total Politik Jengkel Lihat Ulah Jerome Polin saat Demo: Jangan Nyari Heroiknya Doang!
-
Sekarang 'Cuma' Dapat Rp65,5 Juta Per Bulan, Berapa Perbandingan Gaji DPR yang Dulu?