Suara.com - Kasus pembantingan mahasiswa saat berdemonstrasi di kantor Bupati Tangerang, Provinsi Banten, kini ditangani oleh Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polda Banten.
"Yang bersangkutan [pelaku pembantingan] sudah minta maaf. Bahkan Kapolda pun sudah minta maaf. Kapolda sudah memerintahkan Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan untuk memastikan kesehatan yang bersangkutan," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Kamis (14/10).
"Setelah dinyatakan sehat, maka yang bersangkutan akan dimintai keterangan sebagai saksi."
Namun, menurut lembaga KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), kasus pembantingan mahasiswa itu bukanlah peristiwa tunggal.
Kontras mencatat 814 kasus tindak kekerasan yang diduga melibatkan anggota polisi sepanjang 2020 hingga September 2021. Lembaga ini juga menilai ada eskalasi pembiaran yang selama ini ada di tingkatan internal dan eksternal kepolisian yang melegitimasi rentetan aksi tindak kekerasan.
Bagaimanapun, Kabag Penum Polri Kombes Pol Ahmad menegaskan bahwa Polri menindak tegas anggota yang bersalah tanpa melihat pangkat.
"Tiga kasus yang dilontarkan saat ini sedang didalami [pembantingan mahasiswa, kasus pedagang Medan, kasus Luwu], jadi tidak bisa disandingkan dengan ribuan, puluh ribuan kasus yang ditangani dengan serius," katanya.
Baca juga:
- Dapatkah penyiksaan terduga pelaku kejahatan saat ditangkap dan di tahanan polisi bisa dihentikan?
- Kisah empat pemuda di Sulsel yang dipenjara dan dituduh anarko karena coret-coretan
- Demo mahasiswa: 'Anak saya babak belur, alasan polisi emosi petugas sedang tidak terkendali'
Tidak cukup minta maaf
Kombes Pol Ahmad menekankan bahwa permohonan maaf kepada mahasiswa yang dibanting oleh anggota polisi tidaklah cukup dan kasusnya akan diteruskan sesuai proses hukum yang berlaku.
Baca Juga: Muntah dan Leher Tak Bisa Digerakan, Korban Smackdown Oknum Polisi Berujung ke RS
Ditanya apakah itu berarti yang bersangkutan akan diproses secara hukum, ia menjawab bahwa hal itu tengah didalami.
"Brigadir NP saat pelaksanaan tugas pengamanan unjuk rasa tidak sesuai dengan prosedur, tidak sesuai dengan SOP yang berlaku," kata Kombes Pol Ahmad.
"Apapun itu, dia salah. Tentu sekarang ini sedang didalami oleh Propam Polda. Kita tunggu hasilnya," lanjutnya.
https://twitter.com/bantenstory/status/1448224274490150913
Video pembantingan mahasiswa semester sembilan UIN Banten bernama Fariz Amrullah oleh seorang anggota polisi berinisial NP viral di media sosial.
Peristiwa itu terjadi saat sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di area kantor bupati pada momen HUT ke-389 Kabupaten Tangerang.
Namun, menurut KontraS, kasus ini tidak bisa selesai dengan permintaan maaf, proses damai, maupun penyelesaian melalui mekanisme etik internal Polri. Kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota polisi harus diproses secara hukum.
"[Jika tidak diselesaikan di ranah hukum] di tubuh kepolisian merasa terlegitimasi tindakan kekerasannya. Sehingga menjadi biasa dan tumbuh menjadi suatu budaya," kata Rivanlee Anandar, wakil koordinator KontraS.
Menurutnya, kasus pembantingan mahasiswa itu adalah wujud dari eskalasi pembiaran yang selama ini ada di tingkatan internal dan eksternal kepolisian yang melegitimasi aksi tersebut.
'Mayoritas tidak ada proses penindakan'
Berdasarkan catatan KontraS yang dibagikan kepada BBC, sepanjang 2020 hingga September 2021 terdapat total 814 kasus kekerasan yang diduga melibatkan anggota polisi. Pada 2020 tercatat terdapat 372 kasus dan pada 2021 tercatat 442 kasus.
"Data ini dikumpulkan dari 'data terbuka', yakni penelusuran media, pendampingan kasus, dan informasi dari jaringan organisasi," kata Rivanlee.
Dalam data tersebut, sebanyak 714 kasus dinyatakan tidak mendapat proses penindakan. Selain itu, setidaknya 49 kasus dalam pemeriksaan Propam, serta setidaknya 13 kasus pelaku ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian sisanya beragam, mulai dari penangkapan, penahanan, dan sanksi kode etik.
Korban dalam data ini pun bervariasi, mulai dari aktivis, jurnalis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil.
"Ini [kasus pembantingan mahasiswa] tidak bisa dimaknai sebagai kasus tunggal saja, tapi ini sudah sistemik dan berulang," kata Rivanlee.
Ia mendesak Polri untuk tetap membawa kasus ini ke ranah pidana sehingga kasus ini menjadi preseden agar anggota polisi patuh terhadap peraturan kapolri dalam pengendalian massa dan standar HAM yang dimiliki Polri.
"[Jika tidak diproses pidana] yang lebih parah lagi ini akan menimbulkan pola-pola baru dalam pembungkaman warga sipil, baik itu secara daring dan luring [langsung]," tutup Rivanlee.
Baca juga:
- Mengapa polisi Amerika Serikat jarang sekali dinyatakan bersalah ketika dituduh melakukan pembunuhan?
- Polisi Kenya dipecat saat sedang koma berbulan-bulan, disangka desersi
Kasus akan berulang jika proses hukum diabaikan
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang Kepolisian, Bambang Rukminto, menilai tindakan kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian berulang akibat tidak adanya ketegasan terkait pendisiplinan anggotanya.
"Sanksi-sanksi yang keras pada anggota yang melanggar SOP masih sekedar formalitas," kata Bambang.
Menurutnya, penyelesaian secara damai dapat menimbulkan persepsi bahwa keadilan dapat dinegosiasikan.
"Ini yang menjadi salah kaprah dalam penegakan hukum kita. Kasus-kasus ini sering terulang karena ada kesalah kaprahan seperti itu."
Berita Terkait
-
Klaim Penggunaan Gas Air Mata Saat Bentrokan di Rempang Sesuai Prosedur, Polri: Apa yang Dievaluasi?
-
Bareskrim Polri Gandeng Kominfo dan BSSN Selidiki Peretas Akun YouTube DPR RI
-
Besok, Bareskrim Polri Periksa Wulan Guritno Terkait Kasus Promosi Judi Online
-
Anggota Densus 88 Bripda Ignatius Dwi Frisco Diduga Tewas Ditembak Seniornya di Rusun Polri Cikeas
-
Tidak Hadir Penuhi Panggilan Polisi dalam Kasus TPPU Panji Gumilang, Dua Petinggi PT SBMK Minta Ditunda Jumat
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
29 Unit Usaha Syariah Mau Spin Off, Ini Bocorannya
-
Soal Klub Baru usai SEA Games 2025, Megawati Hangestri: Emm ... Rahasia
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
Terkini
-
BGN Dorong SPPG Turun Langsung ke Sekolah Beri Edukasi Gizi Program MBG
-
Usai Tahan Heri Gunawan dan Satori, KPK Bakal Dalami Peran Anggota Komisi XI DPR di Kasus CSR BI-OJK
-
Ketua Komisi XI DPR Ungkap Alasan TKD Turun, ADKASI Tantang Daerah Buktikan Kinerja
-
Asuransi Kebakaran Kramat Jati Hanya Tanggung Bangunan, Pramono Buka Akses Modal Lewat Bank Jakarta
-
Kasus Kuota Haji, Gus Yaqut Jalani Pemeriksaan di KPK Hari Ini
-
Imigrasi Dalami Penyerangan 15 WNA China Bersenjata Tajam hingga Alat Setrum di Tambang Emas Kalbar
-
Pemprov DKI Jamin Relokasi Cepat untuk 121 Pedagang Kramat Jati
-
Roy Suryo Makin Yakin 99,9 Persen Ijazah Jokowi Palsu Usai Lihat Langsung: Pegang Saja Tidak Boleh!
-
Pakar UGM: Hunian Tetap Korban Bencana di Sumatra Harus Dibangun di Zona Aman
-
Bayar Mahal Setara Gaji Bulanan, Penggemar Lionel Messi Mengamuk di Stadion Salt Lake India