News / Nasional
Senin, 25 Oktober 2021 | 06:41 WIB
Ilustrasi pengunjung mal menggunakan masker. (stock photo)
Baca 10 detik

Sejumlah pelonggaran tadi bisa berdampak pada lonjakan kasus kembali terulang, pemerintah dan masyarakat harus siap menanggung segala konsekuensi.

Sejumlah pakar memprediksi gelombang ketiga akan terjadi akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022 setelah libur natal dan tahun baru yang sudah menjadi pola lonjakan Covid-19 di Indonesia, selalu melonjak pasca libur panjang.

Kementerian Kesehatan RI sendiri mengakui gelombang ketiga pandemi adalah sebuah keniscayaan yang suatu saat bisa terjadi.

"Keniscayaan akan gelombang ketiga itu pasti terjadi, tentunya kita harus terus menerus mengingat ke masyarakat bahwa pandemi belum selesai," kata Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi.

Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) bahkan sudah mengedarkan surat ke semua fasilitas kesehatan agar siaga menghadapi gelombang ketiga.
'
Sekjen PERSI dr. Lia G. Partakusuma menegaskan, tenaga kesehatan bukan ingin menghambat pertumbuhan ekonomi, namun pelanggaran tetap harus dikontrol.

"Kita sih orang-orang kesehatan lebih menginginkan mereka tetap berada di daerah masing-masing, mereka mau jalan-jalan ya di sana saja, tapi begitu mereka sudah menyebrang, beda provinsi apalagi beda negara nah itu kemungkinan untuk masuknya virus itu kan menjadi besar apalagi kita sulit sekali," tutur Lia.

Belum lagi ancaman masuknya varian baru yang sudah terjadi di luar negeri seperti seperti varian Lamda dan Mu (Miyu).

Antisipasi Pemerintah

Pemerintah sejauh ini mengandalkan sejumlah cara antisipatif mulai dari aplikasi Pedulilindungi untuk memantau aktivitas masyarakat, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis level, pembatasan turis asing yang masuk, hingga pembatasan laju penerbangan domestik dengan tes PCR walau sudah divaksin.

Baca Juga: Alhamdulillah, Kaltim Bebas Dari Zona Merah, Penambahan Kasus Covid-19 Ada 23 Orang

Terkait wajib tes PCR untuk syarat penerbangan domestik, pemerintah beralasan hal ini dilakukan karena kapasitas transportasi sudah dibuka 100 persen sehingga perlu skrining yang kuat, selain itu mobilitas masyarakat juga bisa dibatasi.

"(Penggunaan PCR agar) Potensi orang terinfeksi untuk lolos dapat dicegah. Sehingga mencegah orang tersebut menulari orang lain dalam suatu tempat dengan kapasitas padat," kata Wiku.

Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban menampik syarat wajib PCR untuk terbang ini sebagai celah mencari "cuan" di tengah pandemi.

"Posisi saya jelas. Sama seperti vaksin, tes PCR sangat penting untuk melawan pandemi. Tapi jangan dipahami dokter itu mendapat komisi dari penjualan PCR. Tidak nyambung. Bahkan, karena penting, harusnya tes PCR bisa seperti vaksin, yakni gratis. Itu kalau bisa," tulis Zubairi melalui twitternya.

Pemerintah juga membatasi turis asing yang masuk ke Indonesia hanya boleh dari 19 negara dengan angka kasus terkonfirmasi Covid-19 mereka berada pada level 1 dan 2, dengan angka positivity rate yang rendah.

"Daftar 19 negara yang masuk ke Indonesia ini hanya berlaku khusus untuk penerbangan langsung ke Bali dan Kepulauan Riau (Kepri)," tegasnya.

Load More