News / Nasional
Senin, 17 Januari 2022 | 07:00 WIB
Ilustrasi HIV/AIDS [Yayasan AIDS Indonesia]

Dia berasal dari Jakarta Selatan. Usianya 33 tahun. Seorang ibu dari satu anak yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP.

"Ibu pasien apa di RS ini," kataku.

"Itu ada tulisannya." Matanya melihat ke papan yang digantung di lorong. Tertulis di sana: unit pelayanan HIV.

Ilustrasi HIV AIDS. [Envato Elements]

Aku ragu dengan apa yang baru saja kudengar dari perempuan itu dan mengonfirmasi lagi. "HIV bu?"

"Iya HIV," katanya.

"Sama seperti abang kan?"

Dia mengira aku seorang pasien HIV, mungkin karena ikut duduk di bangku ruang tunggu pengambilan obat yang biasa dipakai pasien HIV.

"Saya pasien poli hematologi dan gastroenterologi, cuma numpang duduk di sini."

Tempat tunggu itu memang berada di depan unit layanan HIV. Tapi aku yakin tidak semua orang yang duduk di sana pasien kasus HIV. Seperti halnya aku sendiri, pagi-pagi setiap ke RS ini sering duduk di situ hanya untuk numpang tempat sarapan sambil menunggu poli di lantai bawah dibuka petugas. Tempatnya tenang dan jarang terjadi kerumunan.

Baca Juga: Kisah Sopir Bajaj Perempuan: Berani Lawan Pelecehan, Berteman dengan Preman

"Saya sudah empat tahun, mas, berobat di sini," ujarnya, seolah-olah dapat membaca pikiranku.

Dia terdeteksi menderita HIV tahun 2017.

Dari keluarga baik-baik

Kenyataan hidup yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.

Perilaku pribadinya jauh dari risiko terjangkit HIV. Dia tidak pakai narkoba, apalagi konsumsi narkoba suntik secara bergantian. Tidak pula melakukan free sex.

Ibu berjilbab berasal dari keluarga baik-baik. Taat agama.

Itu sebabnya, dia yakin seyakinnya tidak mungkin tertular HIV karena faktor penyimpangan perilaku pribadi.

Load More