Suara.com - Rusia mengadakan pertemuan darurat khusus dengan Dewan Keamanan PBB pada Jumat (11/3) untuk membahas klaimnya bahwa Ukraina berencana mengembangkan senjata biologis. Tuduhan itu telah dibantah oleh Ukraina dan AS dan dikatakan sebagai operasi "bendera palsu" atau kambing hitam, sebuah klaim yang bertujuan untuk membenarkan kemungkinan penggunaan senjata kimia oleh Rusia terhadap Ukraina.
Secara sah, Ukraina memang memiliki laboratorium yang, dikatakan pemerintah, digunakan para ilmuwan untuk melindungi warga dari penyakit seperti Covid-19. Mengingat Ukraina sekarang dalam keadaan perang, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta Ukraina untuk menghancurkan semua patogen berbahaya di laboratoriumnya.
Jadi, apa sebenarnya senjata kimia dan apa bedanya dengan senjata biologis?
Senjata kimia adalah segala jenis amunisi yang membawa racun atau zat kimia yang menyerang sistem tubuh.
Baca juga:
- Cek fakta: Rusia menuduh Ukraina gunakan senjata biologi
- Pasukan Rusia makin dekat, Ibu Kota Kyiv jadi 'benteng pertahanan', apa perubahan yang terjadi?
- 'Kalau Kharkiv jatuh, seluruh Ukraina akan jatuh'
Ada berbagai kategori senjata kimia. Chocking agents atau senyawa kimia, seperti fosgen, menyerang paru-paru dan sistem pernapasan. Akibatnya, korban tenggelam dalam sekresi paru-paru mereka sendiri. Ada juga blister agents atau senyawa kimia, seperti gas mustard, yang membakar kulit dan membutakan mata.
Kategori yang paling mematikan dari semuanya adalah nerve agent atau senyawa kimia yang mengganggu penyampaian pesan dari otak ke otot-otot tubuh. Setetes kecil nerve agents bisa berakibat fatal. Kurang dari 0,5 miligram nerve agent VX, misalnya, sudah cukup untuk membunuh orang dewasa.
Semua senyawa kimia tersebut dapat digunakan dalam peperangan dengan menggunakan peluru artileri, bom, dan misil. Namun, semuanya dilarang keras oleh Konvensi Senjata Kimia 1997, yang ditandatangani oleh sebagian besar negara, termasuk Rusia.
Pengawas global untuk senjata kimia berada di Den Haag, Belanda, dan disebut OPCW - Organisasi Pelarangan Senjata Kimia - yang memantau penggunaan senjata ini secara tidak sah dan mencoba mencegah jumlahnya menjadi semakin banyak.
Baca Juga: NATO Siap Ambil Tindakan Jika Rusia Gunakan Senjata Kimia Di Perang Ukraina
Senjata-senjata kimia tersebut pernah digunakan dalam perang di masa lalu, dalam Perang Dunia Pertama, Perang Iran-Irak pada 1980-an , dan baru-baru ini oleh pemerintah Suriah saat melawan pasukan pemberontak. Rusia mengatakan telah menghancurkan stok senjata kimia terakhirnya pada 2017 tetapi sejak itu setidaknya ada dua serangan kimia yang dituduhkan kepada Moskow.
Melanggar aturan
Yang pertama adalah serangan Salisbury pada Maret 2018, ketika seorang mantan perwira KGB yang membelot, Sergei Skripal, diracun bersama putrinya menggunakan nerve agent Novichok. Rusia membantah bertanggung jawab dan memberikan lebih dari 20 penjelasan berbeda tentang siapa yang berpotensi melakukannya.
Namun, penyelidik menyimpulkan bahwa itu adalah pekerjaan dua perwira dari intelijen militer GRU Rusia dan akibatnya 128 mata-mata dan diplomat Rusia diusir dari beberapa negara. Kemudian, pada Agustus 2020, aktivis oposisi terkemuka Rusia Alexei Navalny juga diracun dengan Novichok dan nyaris lolos dari kematian.
Jadi, apakah Rusia akan menggunakan senjata kimia di Ukraina?
Jika menggunakan senjata seperti gas beracun dalam perangnya di Ukraina, Rusia akan dianggap melanggar aturan dan kemungkinan besar memicu negara-negara Barat untuk mengambil tindakan tegas.
Tidak ada bukti bahwa Rusia menggunakan senjata ini sambil membantu sekutunya mengalahkan pemberontak di Suriah, tetapi Rusia memberikan dukungan militer besar-besaran untuk rezim Bashar al-Assad yang diduga melakukan puluhan serangan kimia terhadap rakyatnya sendiri.
Faktanya, jika dalam perang yang berkepanjangan, di mana militer penyerang mencoba untuk mematahkan keinginan pasukan pertahanan, maka senjata kimia, sayangnya, adalah salah satu cara yang sangat efektif. Itu yang dilakukan pemerintah Suriah di Aleppo.
Sementara itu, senjata biologis berbeda dengan senjata kimia. Ini adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan persenjataan patogen berbahaya seperti Ebola.
Masalahnya adalah ada kemungkinan area abu-abu antara upaya untuk melindungi penduduk dari patogen berbahaya, dan diam-diam mengerjakan bagaimana patogen itu bisa digunakan sebagai senjata. Dalam hal ini, Rusia tidak segera menunjukkan bukti kesalahan Ukraina. Namun, Rusia menggelar pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada Jumat untuk membahas klaimnya.
Rusia, ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet, mengendalikan program senjata biologis yang sangat besar, yang dijalankan oleh sebuah badan bernama Biopreparat, yang mempekerjakan sekitar 70.000 orang.
Setelah Perang Dingin berakhir, tim ilmuwan masuk untuk 'melucutinya'. Mereka menemukan bahwa Soviet telah memproduksi dan menggunakan antraks, cacar, dan penyakit lainnya secara massal sebagai senjata, setelah mengujinya pada monyet hidup di sebuah pulau di Rusia selatan.
Mereka bahkan memasukkan spora antraks ke dalam hulu ledak rudal jarak jauh antarbenua yang ditujukan ke kota-kota negara Barat.
Terakhir, dalam pembahasan menyeramkan senjata non-konvensional ini, ada "dirty bomb", yaitu bahan peledak normal yang dibalut oleh unsur-unsur radioaktif, yang merupakan turunan lain dari bom nuklir. Bom itu dikenal sebagai RDD, perangkat penyebaran radiologis. Bom itu bisa menjadi bahan peledak konvensional yang membawa isotop radioaktif seperti Cesium 60 atau Strontium 90.
Jika dibandingkan dengan bom konvensional, dirty bomb tidak akan membunuh lebih banyak orang, setidaknya di awal-awal. Namun, bom itu bisa membuat area yang sangat luas, bisa mencapai seluruh wilayah London, wilayah yang terpapar tidak dapat dihuni selama berminggu-minggu sampai benar-benar didekontaminasi.
Dirty bomb hampir seperti senjata psikologis, dirancang untuk menimbulkan kepanikan penduduk dan merusak moral masyarakat. Kami belum pernah melihatnya digunakan dalam perang. Sebagian alasannya karena berbahaya dan sulit ditangani sehingga membuat penggunanya juga menghadapi risiko untuk diri mereka sendiri.
Berita Terkait
-
Khawatir Ganti KTP Dua Kali, Warga Tunda Pindah Domisili Imbas Pemekaran Kelurahan Kapuk
-
Catat Laba Bersih Rp389 M, KB Bank Perkuat Struktur Manajemen Lewat Pengangkatan Widodo Suryadi
-
DJI Mini 5 Pro, Kamera Osmo Nano, dan Mic 3 Resmi Masuk Indonesia, Ini Harganya
-
Bukan Hasil Korupsi, KPK Akui Alphard yang Disita dari Noel Ternyata Mobil Sewaan Kantor
-
Eks Karyawan Ngaku Diintimidasi Pihak Ashanty: Untung Cewek, Kalau Cowok Udah Gue Gebukin
Terpopuler
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Terungkap! 'Orang Baik' yang Selamatkan PPP dari Perpecahan: Ini Peran Pentingnya
-
Dana Transfer Dipangkas Rp 15 Triliun, APBD DKI 2026 Anjlok dan Gubernur Perintahkan Efisiensi Total
-
Kelurahan Kapuk Dipecah Jadi 3: Lurah Klaim Warga Menanti Sejak Lama, Semua RW dan RT Setuju
-
Antonius Kosasih Divonis 10 Tahun Bui di Kasus Korupsi PT Taspen, Hukuman Uang Pengganti Fantastis!
-
Kapuk Over Populasi, Lurah Sebut Petugas Sampai Kerja di Akhir Pekan Urus Kependudukan
-
Ada dari Bekasi dan Semarang, Tim DVI Identifikasi 7 Jasad Korban Ponpes Al Khoziny, Ini Daftarnya
-
Jokowi Absen di HUT TNI karena Tak Boleh Kena Panas, Kondisi Kesehatannya Jadi Gunjingan
-
Geger Sidang Ijazah Gibran: Tuntutan Rp125 T Bisa Dihapus, Syarat Minta Maaf dan Mundur dari Wapres
-
PHRI: Okupansi Hotel Merosot, Terhentinya Proyek IKN Buat Kaltim Paling Terdampak
-
BNPB Klaim Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny sebagai Bencana dengan Korban Terbanyak 2025