Suara.com - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Sasmito Madrim menilai dunia pers masih terbingkai sebagai potret buram di Tanah Air. Padahal, sudah lebih dari dua dekade mempunyai undang-undang yang mengaturnya. Berikut tulisan opini Sasmito yang menjelaskan problematika pers Indonesia kontemporer.
***
Hari ini, Jumat 23 September, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers persis diterbitkan 23 tahun silam. Tapi setelah puluhan tahun berlalu, pers Indonesia belum sepenuhnya bebas atau baru bebas sebagian.
Setidaknya, ini terlihat dari Indeks Kebebasan Pers yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF) 2022 dan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 yang dibuat Dewan Pers.
Berdasarkan riset RSF, peringkat Indonesia melorot ke posisi 117 (skor 49,27) dari tahun sebelumnya di posisi 113 (skor 62,60).
Ini menunjukkan pers di Indonesia pada 2022 semakin jauh dari kebebasan yang dicita-citakan komunitas pers. itu setidaknya bila memakai lima indikator yang digunakan RSF yaitu politik, hukum ekonomi, sosial budaya, dan keamanan.
Sedangkan menurut hasil survei Dewan Pers, poin IKP 2022 naik tipis 1,86 poin menjadi 77,88 atau cukup bebas.
Indikator yang digunakan Dewan Pers juga tidak jauh berbeda dengan RSF yaitu lingkungan fisik dan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan hukum.
Skor ini stagnan dalam empat tahun terakhir, dengan kisaran 70-78 persen atau cukup bebas. Ini artinya belum ada perubahan berarti meskipun UU Pers telah 23 tahun berlaku di Indonesia.
Indikator politik, kita bisa melihat kebebasan pers di Papua dan Papua Barat yang mendapat perlakuan berbeda dari pemerintah. Mulai dari pembatasan jurnalis asing masuk ke wilayah Bumi Cendrawasih, pembatasan akses internet, hingga stigma ke jurnalis-jurnalis asli Papua.
Pembatasan akses internet juga pernah dilakukan pemerintah di wilayah lain, dengan pertimbangan-pertimbangan keamanan yang tidak jelas pertimbangannya.
Indikator hukum, kita masih melihat sejumlah undang-undang yang mengancam dan telah membawa jurnalis ke jeruji besi. Contoh paling nyata yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan KUHP.
Sedikitnya ada tiga jurnalis yang telah divonis bersalah melanggar Undang-Undang ITE yaitu Muhammad Asrul (berita.news); Diananta P Sumedia (Kumparan/Banjarhits); dan, Mohammad Sadli Saleh. Padahal Dewan Pers telah menyatakan karya mereka sebagai produk jurnalistik.
Indikator ekonomi, dua pukulan telak yakni disrupsi digital dan pandemi Covid-19 telah mengantarkan perusahaan-perusahaan media di posisi sulit dengan pendapatan yang terus menurun. Jumlah pembaca yang meningkat ternyata tidak berbanding lurus dengan pendapatan media.
Situasi tersebut mengakibatkan kesejahteraan jurnalis juga semakin terancam dan jauh dari sejahtera. Kondisi yang semakin miris, karena jauh sebelum pandemi Covid-19, masih banyak jurnalis di berbagai daerah yang belum mendapat upah layak.
Terakhir keamanan, kasus kekerasan terhadap jurnalis masih marak terjadi di berbagai daerah.
Bahkan ketika pandemi, kekerasan terhadap jurnalis masih tercatat tinggi. Tapi ironis, pelaku kekerasan terhadap jurnalis adalah personel polisi yang semestinya melindungi masyarakat, termasuk jurnalis.
Perlu Terobosan Baru
Kemerdekaan pers yang stagnan membuktikan komunitas pers membutuhkan terobosan-terobosan yang baru untuk mendorong kemerdekaan pers yang penuh. Akan mustahil, kita mendapatkan hasil yang berbeda jika tindakan atau cara yang dilakukan tetap sama.
Organisasi pers baik dari jurnalis, perusahaan media, dan orang atau organisasi yang peduli dengan pers perlu berupaya lebih keras dalam kolaborasi, perencanaan, perumusan strategi, hingga pelaksanaan.
Setidaknya dalam empat indikator di atas, komunitas pers perlu memastikan perubahan yang mendukung kebebasan pers.
Dalam lingkup kecil, komunitas pers bisa merumuskan solusi-solusi atas persoalan di atas kemudian dipastikan adanya perubahan di kementerian atau lembaga terkait. Namun, dalam lingkup yang lebih luas, komunitas pers bisa mendesak presiden untuk memastikan semua itu bisa terlaksana.
Sebagai contoh, komunitas pers sulit berharap kepada Polri untuk mereformasi dirinya sendiri untuk menghentikan anggota mereka menjadi pelaku kekerasan dan memproses hukum pelaku.
Karena itu, butuh perencanaan matang dari komunitas pers untuk didorong ke unsur eksternal seperti Kemenko Polhukam atau presiden untuk mengubah Polri yang prokemerdekaan pers.
Pemilu 2024 juga bisa dijadikan momentum oleh komunitas pers untuk memastikan calon presiden dan wakil presiden, calon lesgislatif, serta partai politik memiliki pandangan yang sama dalam menjamin kemerdekaan pers.
Para calon dapat diikat dengan komitmen-komitmen politik yang mendukung kemerdekaan pers dan dapat ditagih Ketika mereka berhasil menduduki kursi parlemen dan presiden.
Terobosan-terobosan baru dalam ekonomi media juga perlu dilakukan. Para peneliti atau akademisi dengan bantuan dana pemerintah bisa melakukan riset-riset model bisnis media yang berkelanjutan untuk perusahaan media.
Termasuk model bisnis untuk jurnalis-jurnalis yang memproduksi karya jurnalistik secara mandiri. Keberagaman model bisnis media akan membuat jurnalis dan perusahaan media lebih mudah menemukan model yang paling tepat untuk karya jurnalistik yang berkualitas.
Masyarakat juga akan diuntungkan karena mereka bisa memilih karya-karya jurnalistik dari jurnalis atau perusahaan yang berkualitas. Bukan banyak dalam jumlah, tapi sama dalam kontennya.
Tanpa terobosan-terobosan baru ini, maka akan sulit kemerdekaan atau kebebasan pers Indonesia bisa naik ke posisi bebas atau merdeka sepenuhnya. Padahal, kita tahu, "Tidak akan ada negara demokrasi, tanpa ada pers yang bebas". #23TahunUUPers.
-----------------------
Catatan redaksi: Isi artikel ini adalah opini Sasmito Madrim, Ketua Umum AJI Indonesia. Naskah awalnya berjudul "23 Tahun UU Pers: Kebebasan Pers Membutuhkan Terobosan."
Berita Terkait
-
AJI dan Google News Gelar Trusted Media Summit di Bali, 150 Media Hadir Membahas Tantangan Era Digital
-
Jurnalis Mudah Didoxing Gegara Kebocoran Data Pribadi: Alamat Rumah hingga Keluarga Bisa Diteror
-
Tim Universal HAM Menggugat UU Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi
-
Sekretariat LPM Dinamika UINSU Dirusak OTK, Begini Kondisinya
-
MK Tolak Gugatan UU Pers tentang Keberadaan Dewan Pers
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
Terkini
-
Menkeu: Ada Rp1,51 Triliun Siap Pakai untuk Pemulihan Bencana, BNPB Segera Ajukan Sebelum Hangus!
-
KSAD Ungkap Perjuangan TNI Kerja 24 Jam di Aceh: Pakai Dana Swadaya, yang Penting Jalan Tersambung!
-
Malioboro Bakal Disterilkan, Polisi Siapkan Rekayasa Lalin di Tugu Jogja saat Malam Pergantian Tahun
-
Menhub Pastikan Bandara dan Pelabuhan Aceh Aman, Tapi Jalur Kereta Api Rusak Parah Disapu Air
-
Menteri PU Percepat Pemulihan Aceh: Kerja 24 Jam, Program Padat Karya, hingga Pembangunan Bendungan
-
Meriah! Suara.com Bareng Accor Sambut Tahun Baru 2026 dengan Kompetisi Dekorasi Kue
-
Gaji Sopir MBG Lebih Tinggi dari Guru Honorer, JPPI: Lebih Rasional Jadi Sopir!
-
Jembatan Bailey Lawe Mengkudu Fungsional, Akses Gayo Lues-Aceh Tenggara Kembali Lancar
-
Dilema PDIP dan Demokrat: Antara Tolak Pilkada Lewat DPRD atau Tergilas Blok Besar
-
689 Polisi Dipecat Sepanjang 2025, Irwasum: Sanksi Adalah 'Gigi' Pengawasan