Suara.com - Rumoh Geudong disebut-sebut dalam sejarah HAM Indonesia sebagai tempat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa lalu. Terungkapnya sejarah tragedi Rumoh Geudong terjadi pasca pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tahun 1998 telah meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie.
Mengutip kontrasaceh.or.id, bangunan Rumoh Geudong mengacu pada rumah pusaka uleebalang (bangsawan) dalam bentuk panggung tradisional dan memiliki sejarah yang cukup panjang selama konflik Aceh, terutama pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998.
Rumoh Geudong menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis), di mana militer menjadikannya tempat penahanan bagi puluhan pria dan wanita yang dituduh terlibat dalam kelompok yang mereka sebut Gerakan Gangguan Keamanan (GPK) atau yang kemudian dikenal sebagai Aceh Merdeka (GPK-AM).
Selain itu, Rumoh Geudong juga menjadi tempat di mana 78 orang yang diduga terlibat dalam GAM dieksekusi dan disiksa. Aparat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) mulai menyiksa tahanan dengan menyalakan musik sedemikian rupa sehingga jeritan sedih semua korban penyiksaan tidak terdengar.
Perempuan yang diduga berafiliasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), baik sebagai istri, anak, atau keluarga, akan difoto di Rumoh Geudong. Kemudian foto-foto para wanita dicetak dan ditempelkan di pohon-pohon di hutan dengan kalimat seperti "Tolong" atau "Jemput saya." Hal ini dilakukan agar GAM di pegunungan akan turun dan menyerah.
Penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat tidak hanya berupa penderitaan fisik tetapi juga penyiksaan psikologis dan farmakologis. Pihak berwenang melakukan penyiksaan fisik, seperti merendam korban dalam air laut, disiksa dengan sengatan listrik, digantung, dan dipukuli.
Secara psikologis, korban dikurung di ruangan gelap, dilecehkan secara seksual, diperkosa, dan ditelanjangi, menyebabkan korban mengalami penderitaan moral. Sementara itu, penyiksaan farmakologis dilakukan dengan memaksa korban minum obat, menyebabkan kemurungan dan depresi, kelumpuhan, sesak napas, peradangan hati, kejang otot, dan lain-lain.
Tragedi ini tidak lepas dari peran 'cuak' atau mata-mata yang digunakan aparat untuk menyatukan gerakan warga. Orang-orang juga takut dan khawatir bahwa mereka akan menjadi mangsa cuak.
Mereka takut dituduh dan kemudian melapor ke Kopassus, yang menyebabkan mereka ditangkap dan ditahan di Rumoh Geudong. Ketika mereka dibawa ke Rumoh Geudong, yakin bahwa warga telah mengalami tindakan kekerasan oleh pasukan keamanan yang berbasis di sana.
Baca Juga: DPR Geram, Bukti Pelanggaran HAM Malah Dihancurkan Jelang Kedatangan Presiden Jokowi
Konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Aceh membuktikan bahwa strategi pemerintah Indonesia tidak berhasil. Selama pelaksanaan DOM tahun 1989-1998, banyak pelanggaran HAM yang terjadi dan berdampak negatif bagi masyarakat Aceh.
Keberadaan aparat keamanan harus mampu memberikan rasa aman bagi kehidupan masyarakat karena tugas utamanya adalah menciptakan stabilitas di masyarakat. Namun, kehadiran tentara di Rumoh Geudong membuat orang takut karena bisa menjadi korban kapan saja.
Dilihat dari kesaksian para korban kepada Komnas HAM, terlihat bahwa cara aparat negara memperlakukan masyarakat sangat tidak manusiawi. Pihak berwenang memperlakukan orang dengan sembrono dan tanpa kendali.
Hingga saat ini, negara bahkan belum bisa menentukan aktor siapa yang paling bertanggung jawab secara hukum karena kasus ini mengalami stagnasi di tingkat penyidikan Kejaksaan Agung. Karena itu, Pengadilan HAM belum bisa mengusut dan mengadili orang-orang yang diduga sebagai pelaku di Rumoh Geudong.
Dugaan kejahatan dalam insiden ini belum diklarifikasi secara hukum. Korban juga belum mendapatkan kepastian hukum tentang apa yang terjadi pada mereka. Selain itu, orang-orang yang diduga bertanggung jawab tidak pernah bisa mendapatkan kepastian hukum tentang diri mereka sendiri.
Demikian itu sejarah tragedi Rumoh Geudong yang menjadi saksi terjadinya kasus pelanggaran HAM berat di Aceh.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Perkuat Ekosistem Bisnis, BNI dan Anak Usaha Dorong Daya Saing UMKM di wondr JRF Expo
-
Dosen Merapat! Kemenag-LPDP Guyur Dana Riset Rp 2 Miliar, Ini Caranya
-
Lewat Bank Sampah, Warga Kini Terbiasa Daur Ulang Sampah di Sungai Cisadane
-
Tragis! Lexus Ringsek Tertimpa Pohon Tumbang di Pondok Indah, Pengemudi Tewas
-
Atap Arena Padel di Meruya Roboh Saat Final Kompetisi, Yura Yunita Pulang Lebih Awal
-
Hadiri Konferensi Damai di Vatikan, Menag Soroti Warisan Kemanusiaan Paus Fransiskus
-
Nyaris Jadi Korban! Nenek 66 Tahun Ceritakan Kengerian Saat Atap Arena Padel Ambruk di Depan Mata
-
PLN Hadirkan Terang di Klaten, Wujudkan Harapan Baru Warga di HLN ke-80
-
Geger KTT ASEAN: Prabowo Dipanggil Jokowi, TV Pemerintah Malaysia Langsung Minta Maaf
-
88 Tas Mewah Sandra Dewi Cuma Akal-akalan Harvey Moeis, Bukan Endorsement?