Suara.com - Turunnya partisipasi publik dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak 2024 menjadi sorotan berbagai pihak. Bahkan akademisi menilai ada persoalan yang muncul saat gelaran pilkada serentak tersebut dilakukan dalam tahun yang sama dengan Pemilu.
Akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Ibrahim mengemukakan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pilkada dalam waktu yang berdekatan menciptakan kejenuhan politik di kalangan masyarakat.
"Barangkali pileg dan pilpres bisa digabung, tetapi pilkada perlu diatur minimal berjarak dua tahun,” ujarnya mengutip Antara.
Ia mengemukakan bahwa jadwal pemilu yang terlalu padat tak hanya membebani penyelenggara, tetapi juga mengurangi antusiasme masyarakat untuk datang ke TPS.
Ibrahim kemudian mengaitkan rendahnya partisipasi warga tersebut dengan kurangnya pemahaman warga mengenai pentingnya pilkada sebagai elemen tata kelola pemerintahan.
"Erosi minat politik ini menunjukkan ada yang salah dalam sistem pemahaman warga suatu bangsa," katanya.
Lantaran itu, ia mengusulkan agar dilakukan inovasi dalam mempromosikan pilkada.
"Daripada konser dengan biaya ratusan juta, mengapa tidak menyediakan undian berhadiah di TPS? Atau membuat tampilan TPS lebih atraktif,” ungkapnya.
Sementara dari perspektif yang berbeda, Akademisi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Muhammad Faishal Aminuddin menyoroti kelelahan partai politik sebagai salah satu penyebab menurunnya partisipasi pemilih.
Baca Juga: Partisipasi di Pilkada Bali Tak Mencapai Target, KPU : Tidak Bermaksud Menyalahkan Semesta
"Yang capek sebenarnya partai dan kandidatnya. Mereka harus mengusung berbagai calon dalam waktu yang berdekatan, sementara suplai logistik sudah habis di Pemilu 2024," jelasnya mengutip Antara.
Ia juga menyoroti kebingungan pemilih akibat ketidaksamaan koalisi partai politik di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
"Ketidakkonsistenan ini membuat pemilih kehilangan arah," tambahnya.
Selain itu, Faishal mengkritik pendekatan sosialisasi pilkada yang dianggap kurang efektif.
"Penyelenggara hanya pasang baliho di sana-sini, tapi tidak banyak menyentuh platform digital yang lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari pemilih,” ujarnya.
Frekuensi Pemilu Tinggi
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 HP RAM 8 GB Paling Murah dengan Spesifikasi Gaming, Mulai Rp1 Jutaan
- 5 Tablet Snapdragon Mulai Rp1 Jutaan, Cocok untuk Pekerja Kantoran
- 7 Rekomendasi Sepatu Jalan Kaki Terbaik Budget Pekerja yang Naik Kendaraan Umum
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
-
Minta Restu Merger, GoTo dan Grab Tawarkan 'Saham Emas' ke Danantara
Terkini
-
Mafindo Ungkap Potensi Tantangan Pemilu 2029, dari AI hingga Isu SARA
-
Bilateral di Istana Merdeka, Prabowo dan Raja Abdullah II Kenang Masa Persahabatan di Yordania
-
August Curhat Kena Serangan Personal Imbas Keputusan KPU soal Dokumen Persyaratan yang Dikecualikan
-
Di Hadapan Prabowo, Raja Yordania Kutuk Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Sebut Serangan Mengerikan
-
Usai Disanksi DKPP, Anggota KPU Curhat Soal Beredarnya Gambar AI Lagi Naik Private Jet
-
Dua Resep Kunci Masa Depan Media Lokal dari BMS 2025: Inovasi Bisnis dan Relevansi Konten
-
Soal Penentuan UMP Jakarta 2026, Pemprov DKI Tunggu Pedoman Kemnaker
-
20 Warga Masih Hilang, Pemprov Jateng Fokuskan Pencarian Korban Longsor Cilacap
-
Gagasan Green Democracy Ketua DPD RI Jadi Perhatian Delegasi Negara Asing di COP30 Brasil
-
Mensos Ungkap Alasan Rencana Digitalisasi Bansos: Kurangi Interaksi Manusia Agar Bantuan Tak Disunat