Suara.com - Sampah plastik menjadi ancaman global, tak hanya di negara berkembang, tapi juga negara maju seperti AS, Inggris, dan Jepang. Konsumsi plastik per kapita di Eropa Barat mencapai 60 kg per tahun, di AS 80 kg, sementara India hanya 2 kg.
Karena sulit terurai, plastik mendominasi limbah lingkungan: 57% sampah pantai adalah plastik, 46 ribu potong plastik terapung di tiap mil persegi samudera, dan lapisan plastik di Samudera Pasifik mencapai kedalaman hampir 100 meter. Setiap tahun, lebih dari satu juta burung laut dan 100 ribu hewan laut mati akibatnya.
Di Indonesia, sampah plastik mencapai 5,4 juta ton per tahun atau 14% dari total produksi sampah—melampaui sampah kertas. Di AS, laporan Environmental Protection Agency (EPA) AS mencatat lonjakan tajam: dari di bawah 1% pada 1960 menjadi 12% atau 30 juta ton pada 2008.
Sebagian besar limbah plastik ini berasal dari kemasan sekali pakai, seperti botol minuman, kantong plastik, diaper, hingga peralatan medis. Dampaknya meluas, dari pencemaran lingkungan hingga ancaman terhadap kesehatan manusia.
Dalam rangka menanggapi krisis tersebut, Greenpeace Indonesia melakukan audiensi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) RI untuk mendorong kebijakan konkret dalam menangani polusi plastik.
Fokus mereka tertuju pada revisi Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, penetapan baku mutu mikroplastik, dan sikap Indonesia dalam proses Perjanjian Global Pengendalian Polusi Plastik (INC 5.2).
“Pada audiensi kali ini, utamanya kami ingin bicara soal Permen LHK No. 75 tahun 2019 yang berkaitan dengan tanggung jawab produsen serta ingin memastikan bahwa memang tanggung jawab terkait masalah plastik sekali pakai tidak hanya dibebankan ke masyarakat tapi juga produsen. Kami cukup mengapresiasi karena itu salah satu aturan yang akhirnya bicara cukup detil atas tanggung jawab produsen yang sebenarnya sudah diatur undang-undang pengelolaan sampah,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Tim Leader Kampanye Sosial & Ekonomi Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya.
Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkuler KLH, Agus Rusly, menjelaskan bahwa implementasi peraturan ini masih menghadapi tantangan.
“Sebagian produsen menganggap Kementerian Lingkungan Hidup tidak memiliki otoritas dalam mengatur industri,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sektor lingkungan hidup tidak bisa berdiri sendiri. Upaya pengurangan sampah harus melibatkan sektor perdagangan, industri, dan sosial agar lebih efektif.
Baca Juga: Besek Bambu, Alternatif Ramah Lingkungan untuk Idul Adha Bebas Plastik
Greenpeace juga menyerahkan Laporan Brand Audit Saset 2023 yang menemukan 3.609 kemasan saset di lapangan berasal dari lima perusahaan besar, yaitu Wings, Salim Group, Mayora Indah, Unilever, dan Santos Jaya Abadi.
Jenis limbah tersebut didominasi oleh sachet multilayer yang sulit didaur ulang. Hingga kini, dari total produsen, baru 13 yang telah mengimplementasikan peta jalan, 17 yang sudah mengirimkan dokumen, dan 24 masih dalam tahap revisi.
“Kami mengapresiasi langkah KLH/BPLH yang telah mendorong produsen agar mengirimkan peta jalan pengurangan sampahnya. Peta jalan ini penting untuk mengatasi krisis plastik melalui pengurangan produksi plastik dan perubahan sistem distribusi dari kemasan sekali pakai menuju sistem guna ulang,” ujar Ibar Akbar, Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia.
Kekhawatiran lain yang disoroti Greenpeace adalah ancaman mikroplastik terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan riset bersama Universitas Indonesia, ditemukan kontaminasi mikroplastik dalam air minum yang dikonsumsi masyarakat, serta indikasi dampaknya terhadap kesehatan seperti gangguan fungsi kognitif.
“Studi ini menambah daftar panjang cemaran mikroplastik di lingkungan dan memperkuat bukti bagaimana risikonya terhadap kesehatan kita. Namun, selama dampak dan mekanisme paparan mikroplastik dalam tubuh belum sepenuhnya dipahami, peningkatan produksi dan penggunaan plastik yang tidak terkendali harus dianggap sebagai ancaman serius bagi kesehatan masyarakat,” ungkap Afifah Rahmi, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia.
Greenpeace mendorong KLH/BPLH untuk menetapkan ambang batas aman kontaminasi mikroplastik dalam produk pangan dan lingkungan, serta mempercepat implementasi kebijakan pengurangan plastik dan perluasan larangan plastik sekali pakai, termasuk jenis PET yang kerap ditemukan mencemari tubuh manusia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
Terkini
-
7 Fakta Ganjil Kebakaran Ruko Terra Drone: Izin Lolos Tanpa Tangga Darurat?
-
Fakta Baru Kebakaran Ruko Terra Drone: Pemilik Lepas Tangan, Perawatan Rutin Nihil
-
5 Momen Dasco Jadi 'The Crisis Manager' di Tahun 2025
-
Dampak Banjir dan Longsor Sumut Kian Parah, 360 Orang Meninggal dan Puluhan Ribu Mengungsi
-
Perpol Jabatan Sipil Polri Jadi Bola Panas, Komisi Reformasi Turun Tangan Bahas Polemik
-
KPK Pastikan Perceraian Atalia-RK Tak Hambat Kasus BJB, Sita Aset Tetap Bisa Jalan
-
Prabowo Ingin Papua Ditanami Sawit, Demi Hemat Impor BBM Rp 520 Triliun?
-
Isi Amplop Terkuak! Kubu Roy Suryo Yakin 99 Persen Itu Ijazah Palsu Jokowi: Ada Foto Pria Berkumis
-
7 Fakta Kunci Pemeriksaan Gus Yaqut di KPK, Dicecar 9 Jam soal Kuota Haji
-
Bukan Karena Selebgram LM! Pengacara Tegaskan Penyebab Cerai Atalia-Ridwan Kamil Isu Privat