Suara.com - Sejumlah warga menggugat Mahkamah Konstitusi agar calon kepala daerah hanya bisa menang jika meraih suara lebih dari 50 persen.
Mereka menilai aturan saat ini tidak menjamin terpilihnya pemimpin dengan legitimasi mayoritas.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Terence Cameron, Geszi Muhammad Nesta, dan Adnisa Prettya. Mereka menggugat Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, karena tidak mencantumkan batas minimal perolehan suara untuk menetapkan pasangan calon sebagai pemenang.
“Bahwa ketentuan perubahan dalam Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang dirubah tanpa adanya parameter yang jelas merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil, dan juga bentuk kemunduran demokrasi,” demikian bunyi permohonan mereka, dikutip dari laman MK pada Selasa (8/7/2025).
Para pemohon menilai, untuk menjamin legitimasi dan keadilan, pasangan calon terpilih seharusnya wajib meraih lebih dari 50 persen suara sah.
Menurut mereka, tanpa batas minimal suara mayoritas, potensi penyelenggaraan pilkada yang tidak demokratis akan semakin besar. Bahkan, seorang calon bisa terpilih hanya dengan perolehan suara sangat kecil.
“Bahwa dalam kondisi Pemilihan diikuti oleh banyak pasangan calon yang berlangsung secara kompetitif, maka tanpa adanya ketentuan harus memperoleh suara mayoritas lebih dari 50 persen, berpotensi menyebabkan terpilihnya pasangan calon dengan perolehan suara 6,67 persen yang tentu saja tidak memberikan legitimasi yang cukup, dan juga berpotensi menghasilkan pasangan calon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih dan juga bukan pasangan calon yang terbaik,” tutur pemohon dalam surat permohonannya.
Sebagai solusinya, para pemohon meminta agar pilkada putaran kedua dapat dilaksanakan apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara mayoritas lebih dari 50 persen.
Mereka juga menyebut bahwa ketentuan pemilihan dua putaran tidak seharusnya hanya berlaku di Jakarta, tetapi diterapkan secara nasional.
Baca Juga: Rekor! MK Putus 158 Pengujian UU Sepanjang 2024, UU Pilkada Terbanyak Diuji
“Ketentuan mengenai syarat perolehan 50 persen dan pemilihan putaran kedua bukanlah suatu kekhususan yang hanya dapat diterapkan untuk Jakarta, melainkan ketentuan yang paling adil dan demokratis serta berkepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan pilkada dan sudah seharusnya menjadi role model dan juga digunakan di daerah lain di Indonesia,” ujar pemohon.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menafsirkan ulang Pasal 107 ayat (1) UU Pilkada menjadi: Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Pemohon juga meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 109 ayat (1) UU Pilkada yang berbunyi 'Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai: Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
"Memerintahkan pemuatan Putusan Mahkamah Konstitusi ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," kata pemohon.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- 7 Sunscreen yang Wudhu Friendly: Cocok untuk Muslimah Usia 30-an, Aman Dipakai Seharian
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 23 Oktober 2025: Pemain 110-113, Gems, dan Poin Rank Up Menanti
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Tragedi Prada Lucky: Sidang 22 Seniornya Digelar, Sang Ibu Tuntut Keterbukaan
-
Terbang ke Kualalumpur, Selain Gaza, Isu 'Nuklir' Jadi Bahasan Panas Prabowo di KTT ASEAN
-
'Cuma Omon-omon?' Refly Harun Skeptis Prabowo Bisa Lepas dari Pengaruh Jokowi
-
Siap-siap, Sidang Dimulai: KPK Limpahkan Berkas Eks Kadis PUPR Sumut ke Jaksa
-
PDIP Gagas Sumpah Pemuda Baru, Ini Kata Hasto Kristiyanto
-
Airbus A400M Milik TNI AU Akan Bermarkas di Halim
-
BNI Lepas 27.300 Pelari di Wondr JRF 2025 untuk Dorong Ekonomi Hijau dan Gaya Hidup Sehat
-
Hasto Kristiyanto: Dorong Kebangkitan Ekonomi Maritim dan Desa Wisata Indonesia
-
Indonesia Sambut Timor Leste, Anggota Paling Bungsu ASEAN
-
Warga Susah Tidur Gegara Suara Musik, Satpol PP Angkut Belasan Speaker Milik PKL di Danau Sunter