Suara.com - Putusan Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara untuk Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Vonis tersebut dirasa janggal, karena salah satu alasan penjatuhan vonis tersebut, lantaran mantan Menteri perdagangan itu dianggap menguntungkan ekonomi kapitalis.
Dasar pertimbangan utama yang tidak lazim itu memicu perdebatan sengit karena dapat menjadi 'kotak pandora' yang mengancam banyak pejabat negara lainnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyoroti dasar pertimbangan ini secara kritis.
Menurutnya, jika logika tersebut diterapkan secara konsisten, banyak menteri lain yang bisa bernasib sama.
"Itu banyak menteri yang juga melakukan kebijakan yang sama soal impor-impor. Lebih banyak lagi, dan lebih bermasalah lagi," kata Feri menjawab pertanyaan Suara.com di Gedung Fakultas Hukum UI, Salemba, Jakarta pada Senin (21/7/2025).
Feri kemudian mencontohkan kebijakan dagang yang lebih baru sebagai pembanding, yaitu kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Dalam perjanjian itu, AS mengenakan tarif impor 19 persen untuk produk Indonesia, sementara Indonesia justru setuju memberikan tarif nol persen bagi produk AS yang masuk.
"Nah yang barusan kemarin, 19 persen dan nol tarif produk AS itu kurang kapitalis apa? Dan keluarga siapa yang paling diuntungkan? Kalau tidak keluarga yang berkuasa kan. Karena bagian dari kapitalis itu adalah keluarga yang berkuasa," kata Feri menegaskan.
Baca Juga: Aroma Politis di Balik Vonis Korupsi Gula, Pakar Hukum Sebut Kasus Tom Lembong 'Berbahaya'
Tudingan Political Trial dan Tebang Pilih
Berdasarkan perbandingan tersebut, Feri Amsari menilai bahwa kasus yang menjerat Tom Lembong lebih kental nuansa politiknya ketimbang penegakan hukum murni.
Ia secara gamblang menyebutnya sebagai bagian dari political trial atau peradilan politik.
"(Yang) digunakan untuk mematikan lawan-lawan politik," tegasnya.
Feri pun menuntut adanya keadilan yang setara.
Menurutnya, apabila negara serius ingin memberantas kebijakan yang merugikan, seharusnya kasus-kasus lain yang lebih besar juga diusut tuntas, bukan malah tebang pilih.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
Disidak Menteri LH Buntut Banjir, 3 Perusahaan Raksasa Ini Wajib Setop Operasi di Batang Toru
-
Usul Koalisi Permanen, Bahlil Dinilai Ingin Perkuat Stabilitas dan Konsolidasi Golkar
-
Banjir Rob Jakarta Utara: Jalan Depan JIS Kembali Terendam
-
KPK Ungkap Linda Susanti yang Laporkan Dugaan Penggelapan Barang Bukti Ternyata Lakukan Penipuan
-
Trik Jitu Bahlil Bikin Prabowo 'Jatuh Hati', Pujian Meluncur Deras di HUT Golkar
-
Ancaman Rob Mengintai Jakarta, Wakil Ketua DPRD DKI Dukung Aturan Perlindungan Mangrove
-
Menteri LH Setop Aktivitas Perusahaan Tambang, Sawit dan PLTA di Batang Toru!
-
Skandal Digitalisasi SPBU Pertamina Merembet? KPK Kini Selidiki Dugaan Korupsi di PT LEN Industri
-
Tinggalkan Rakyat Saat Banjir demi Umrah, Gerindra Copot Bupati Aceh Selatan dari Ketua DPC Partai
-
Setuju Pilkada Lewat DPRD, Apa Alasan Prabowo Kasih Lampu Hijau Usulan Golkar?