Suara.com - Pengamat politik kawakan, Ray Rangkuti, kembali membuat publik terhenyak dengan analisisnya yang tajam dan tanpa basa-basi. Dalam diskusi panas di Podcast Forum Keadilan TV, Ray membongkar satu per satu isu krusial yang tengah membentuk wajah politik Indonesia.
Mulai dari kebiasaan elit menuduh gerakan rakyat hingga nasib "grand design" politik keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebutnya sudah berantakan, analisis Ray Rangkuti memberikan perspektif yang jernih dan menantang.
Ini bukan sekadar opini, melainkan pembedahan mendalam terhadap realitas kekuasaan saat ini.
Berikut adalah 5 sorotan kritis dari Ray Rangkuti yang wajib Anda simak untuk memahami ke mana arah politik Indonesia bergerak.
1. 'Hobi' Elit Menuduh Gerakan Rakyat: Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Ray Rangkuti menyoroti sebuah pola berbahaya yang kerap dimainkan para elit politik: melontarkan tuduhan tak berdasar untuk membungkam kritik.
Menurutnya, stigma bahwa gerakan masyarakat sipil selalu digerakkan oleh uang koruptor atau dana asing adalah cara licik untuk mendelegitimasi suara rakyat.
Ia menegaskan bahwa ide dan kesadaran adalah bahan bakar utama gerakan massa, bukan sekadar uang. Ironisnya, hukum seolah tak berdaya saat elit menyebar tuduhan.
"Para elit sering menuduh gerakan masyarakat didanai oleh pihak tertentu (misalnya koruptor atau asing) tanpa memberikan bukti atau indikator yang jelas."
Baca Juga: Guntur PDIP Sebut Pemilihan Kaesang di PSI 'Sepak Bola Gajah', Ini Jawaban Menohok Putra Jokowi!
"Ide lah yang menggerakkan massa, bukan uang, terutama jika gerakan tersebut besar."
"Jika rakyat biasa yang menuduh tanpa bukti, mereka bisa terkena pasal hoaks atau ujaran kebencian, namun elit yang melakukan hal serupa tidak tersentuh hukum."
2. Bahaya Kekuasaan Absolut: Pemerintahan Kuat Bukan Berarti Tanpa Kontrol
Kekuasaan yang kuat sering disalahartikan sebagai kekuasaan yang tak terbatas dan bebas dari pengawasan. Ray Rangkuti meluruskan pandangan keliru ini. Baginya, pemerintahan yang kuat adalah yang stabil dan mampu menjalankan programnya, bukan yang absolut dan cenderung korup karena tidak adanya penyeimbang.
"Ketika tidak ada balance of power, maka absolute power akan korup secara absolut."
Sikap abai terhadap transparansi dan partisipasi publik menjadi bukti nyata dari gejala ini. Ray mencontohkan proses pembentukan UU Cipta Kerja hingga perjanjian dengan Amerika yang minim keterlibatan publik.
"Pemerintahan yang kuat seharusnya adalah pemerintahan yang stabil dan bisa melaksanakan program tanpa gangguan politik, bukan yang absolut."
"Transparansi dan partisipasi publik sering diabaikan demi anggapan pemerintahan yang kuat, contohnya dalam UU Cipta Kerja dan perjanjian dengan Amerika."
3. Manuver Politik Jokowi Pasca-Lengser: PSI Cuma 'Pelabuhan' Sementara?
Spekulasi mengenai masa depan politik Jokowi setelah tak lagi menjabat presiden menjadi sorotan tajam Ray. Ia memprediksi Jokowi tidak akan pensiun dari panggung politik, terutama karena kepentingan keluarganya yang sudah masuk dalam pusaran kekuasaan.
Namun, jalan Jokowi tidak akan mulus. Dukungan relawan yang terbelah dan kebutuhan mencari "perahu" politik menjadi tantangan utama. PSI, menurut Ray, hanyalah opsi sementara.
"Jokowi diperkirakan akan tetap terlibat dalam politik harian pasca tidak menjabat presiden karena adanya kepentingan keluarga (anak dan menantu) dalam politik."
"Relawan Jokowi banyak yang sudah beralih dukungan ke Prabowo, dan bahkan ada yang meminta Jokowi tidak terlibat politik praktis lagi."
"Jokowi terlihat sedang mencari partai yang tepat, yang bisa memberinya posisi strategis. PSI menjadi fokus sementara karena belum ada partai besar yang mau mengakomodasi dengan mekanisme instan."
4. 'Grand Design' Politik Keluarga Jokowi Disebut Sudah Ambyar
Analisis paling menohok dari Ray Rangkuti adalah soal "grand design" politik keluarga Jokowi. Ia dengan tegas menyatakan bahwa cetak biru politik itu kini sudah hancur berkeping-keping. Kesalahan fatal, menurutnya, adalah asumsi bahwa Jokowi bisa mengendalikan segalanya bahkan setelah lengser.
Ray menyebut Jokowi lebih membangun "pertemanan" transaksional berbasis untung-rugi ketimbang "persaudaraan" politik yang solid.
"Tidak ada lagi grand design yang utuh untuk keluarga Jokowi, semuanya sudah berkeping-keping."
"Kesalahan terbesar Jokowi adalah menganggap semua bisa dikontrol pasca tidak jadi presiden, padahal ia tidak membangun 'persaudaraan' politik, melainkan 'pertemanan' yang berbasis untung-rugi."
Penurunan popularitas yang lebih cepat dari presiden-presiden sebelumnya dianggap sebagai proses alami, bukan karena ada desain untuk menjatuhkannya.
"Popularitas Jokowi menurun lebih cepat dari presiden sebelumnya, dan ini adalah proses alami, bukan karena ada desain politik besar untuk menjatuhkannya."
5. Nasib Miris Civil Society: Ditinggal Donor Asing, Bertahan dengan Volunterisme
Di akhir diskusi, Ray Rangkuti mengupas kondisi kritis yang dialami lembaga masyarakat sipil (civil society) pro-demokrasi. Mereka kini menghadapi tantangan pendanaan yang serius.
Donor asing banyak yang menarik diri dengan anggapan demokrasi Indonesia sudah mapan, sebuah pandangan yang ironis di tengah berbagai tantangan saat ini.
"Lembaga-lembaga pro-demokrasi semakin sulit mendapatkan pendanaan dari luar negeri, terutama setelah era Trump dan karena Indonesia dianggap sudah mencapai kematangan demokrasi."
Namun, di tengah kesulitan itu, muncul semangat baru. Banyak gerakan kini berjalan secara mandiri dan volunter, didanai dari kantong sendiri demi menjaga api demokrasi tetap menyala.
"Banyak gerakan civil society saat ini berjalan secara volunter dan didanai sendiri karena kesadaran akan pentingnya menjaga demokrasi."
"NGO yang bergerak di isu demokrasi sudah sekitar 10 tahun terakhir tidak lagi menerima pendanaan asing secara signifikan."
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Feri Amsari Singgung Pendidikan Gibran di Australia: Ijazah atau Cuma Sertifikat Bimbel?
- 7 Mobil Kecil Matic Murah untuk Keluarga Baru, Irit dan Perawatan Mudah
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Sempat Digigit Anjing, Mayat Bayi di Bukittinggi Tewas Termutilasi: Tubuh Terpotong 3 Bagian!
-
Bahlil 'Dihujat' di Medsos, Waketum Golkar Idrus Marham: Paradoks Demokrasi
-
Ponsel Menkeu Purbaya Kalah Jauh dari Anak Buahnya: Handphone Lu Bagus Nih
-
Nadiem Makarim Tersandung Skandal Laptop Chromebook, Begini Proses Pengadaan Barang Versi LKPP
-
Misteri Lawatan Trump ke Asia: Sinyal Kejutan dari Korut, Kim Jong Un Sudah Menanti?
-
Viral Pencurian Brutal di Lampu Merah Tanjung Priok, Sopir Pasrah Pilih Tak Keluar Truk
-
Gaza Butuh Rp116,3 Triliun untuk Pulihkan Layanan Kesehatan yang Hancur Total
-
Hadirkan Cahaya Bagi Warga Sabang Aceh, Ubah Gelap Jadi Harapan Baru: Kiprah PLN Peringati HLN ke-80
-
Cuaca Ekstrem dan Suhu Panas Landa Indonesia, Waspada di Tiga Provinsi Siaga
-
Momen Langka di Kuala Lumpur, Donald Trump dan Prabowo Subianto Hadiri KTT ASEAN