Suara.com - Sebuah surat edaran dari Pemerintah Desa Donowarih, Malang, menjadi sorotan tajam dan viral di media sosial.
Isinya bukan imbauan biasa, melainkan permintaan agar warga dari kelompok rentan—lansia, anak-anak, bayi, dan orang sakit—untuk 'mengamankan diri' atau mengungsi sementara dari rumah mereka.
Penyebabnya? Penyelenggaraan "Karnaval Pesta Rakyat Karangjuwet Vol. 5" yang akan menggunakan sound horeg, sistem suara berdaya ekstrem yang getarannya terkenal mampu merusak bangunan.
Meski pihak desa menyebut ini sebagai langkah antisipasi demi kenyamanan, keputusan tersebut memicu perdebatan serius.
Di satu sisi ada semangat pesta rakyat dan tradisi, di sisi lain ada hak fundamental warga atas rasa aman dan lingkungan yang sehat di rumah mereka sendiri.
Ketika orang sakit justru diminta menyingkir demi sebuah karnaval, kita tidak lagi hanya berbicara soal toleransi kebisingan, tetapi juga soal hukum dan kemanusiaan.
Di Balik Surat Edaran: Antisipasi atau Pengabaian Hak?
Pihak Desa Donowarih, melalui Sekretaris Desa Ary Widya Hartono, menegaskan bahwa edaran ini murni sebagai tindakan preventif.
Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat suara yang sangat keras dari 11 unit sound horeg yang didatangkan.
Baca Juga: Apa Itu Sound Horeg: Fenomena Audio 'Mengguncang' yang Viral dan Penuh Kontroversi
Dalam surat edaran tersebut, tertulis poin krusial: "Agar dapat menjaga jarak atau mengamankan sementara dari lokasi kegiatan demi kenyamanan bersama dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat sound system yang akan digunakan cukup keras (sound horeg)."
Pemerintah desa bersikukuh ini adalah bentuk perlindungan.
Namun, bagi banyak pihak, "solusi" dengan meminta warga paling lemah untuk mengungsi justru terlihat seperti pengabaian terhadap hak mereka. Alih-alih mengendalikan sumber masalah (kebisingan ekstrem), kebijakan ini justru membebankan akibatnya kepada korban.
Saat Pesta Rakyat Berpotensi Melawan Hukum: Analisis Yuridis
Meminta warga sakit untuk meninggalkan rumahnya demi sebuah acara, meskipun bersifat imbauan, dapat bersinggungan dengan beberapa aspek hukum yang melindungi hak warga negara. Berikut adalah analisisnya:
Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat: Ini adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Hak ini diperkuat oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Kebisingan ekstrem yang membahayakan kesehatan dan merusak properti dapat dikategorikan sebagai bentuk pencemaran lingkungan (pencemaran suara).
Dalam konteks ini, negara (termasuk pemerintah desa) berkewajiban menjamin terpenuhinya hak tersebut, bukan malah memfasilitasi pelanggarannya.
Potensi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Penguasa: Kebijakan atau tindakan pejabat publik yang merugikan warga dapat digugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
Dengan mengeluarkan edaran yang secara tidak langsung memaksa warga rentan keluar dari zona nyaman mereka, pemerintah desa bisa dianggap lalai dalam memberikan perlindungan.
Seharusnya, yang diatur adalah batas kekuatan suara sound horeg agar tidak membahayakan, bukan 'memindahkan' warganya.
Pelanggaran Ketertiban Umum: Kebisingan yang mengganggu ketenteraman telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
503 KUHP lama mengatur sanksi bagi siapa saja yang membuat keramaian yang mengganggu ketentraman malam hari.
Lebih relevan lagi, dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku penuh pada 2026, Pasal 265 secara spesifik mengancam pidana denda hingga Rp10 juta bagi "Setiap Orang yang mengganggu ketentraman lingkungan dengan membuat ingar-bingar atau berisik tetangga pada Malam".
Meskipun acara ini berlangsung siang hari dan sebelum KUHP baru efektif, pasal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia semakin serius memandang gangguan kebisingan.
Bukan Sekadar Bising, Ini Soal Kemanusiaan
Di luar perdebatan hukum, ada pertanyaan mendasar tentang nilai kemanusiaan.
Bayangkan seorang lansia yang sedang sakit keras atau keluarga dengan bayi yang baru lahir harus mencari tempat mengungsi hanya karena di depan rumahnya akan lewat karnaval dengan suara memekakkan telinga.
Pesta rakyat sejatinya adalah perayaan inklusif yang mempersatukan seluruh warga, bukan ajang yang justru menyingkirkan kelompok paling rentan.
Keputusan Desa Donowarih, meski mungkin niatnya baik, menjadi preseden yang problematis.
Ia menempatkan hiburan beratribut 'tradisi' di atas hak kesehatan dan rasa aman warganya sendiri.
Debat seputar sound horeg ini lebih dari sekadar pro-kontra hiburan.
Ini adalah cerminan bagaimana kita sebagai masyarakat menempatkan hak-hak kelompok rentan dalam skala prioritas.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Murah untuk Aktivitas Harian Pemula, Biaya Operasional Rendah
- 51 Kode Redeem FF Terbaru 8 Desember 2025, Klaim Skin Langka Winterlands dan Snowboard
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- 7 Rekomendasi Bedak Padat Anti Dempul, Makeup Auto Flawless dan Anti Cakey
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
Pilihan
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
-
PT Tusam Hutani Lestari Punya Siapa? Menguasai Lahan Hutan Aceh Sejak Era Soeharto
-
Harga Minyak Melonjak: AS Sita Kapal Tanker di Lepas Pantai Venezuela
-
Sepanjang Semester I 2025, Perusahaan BUMN Lakukan Pemborosan Berjamaah Senilai Rp63,75 Triliun
-
Rekomendasi 7 Laptop Desain Grafis Biar Nugas Lancar Jaya, Anak DKV Wajib Tahu!
Terkini
-
Update Bencana Sumatera 11 Desember: 971 Orang Meninggal, 255 Hilang
-
Pemulihan Psikososial di Sumatra, Lebih Dari 50 Persen Siswa Masih Alami Sedih dan Cemas
-
Pramono Anung Pastikan Perawatan Korban Mobil Terabas Pagar SD di Cilincing Ditanggung Pemprov
-
Pramono Anung: 21 Orang Jadi Korban Imbas Mobil Terabas Pagar SD di Cilincing
-
KPK Tetapkan Tersangka Usai OTT Bupati Lampung Tengah, Amankan Uang dan Emas
-
Barisan Siswa SDN Kalibaru 01 Diseruduk Mobil, 20 Korban Terluka
-
Komnas HAM: Solidaritas Publik Menguat, Tapi Negara Tetap Wajib Pulihkan Sumatra
-
Dari Pameran Megah ke Balik Jeruji, Mengapa Puluhan Calon Pengantin Bisa Tertipu WO Ayu Puspita?
-
Dedi Mulyadi Datang ke KPK: Ada Apa dengan Sungai dan Hutan Jabar?
-
Tak Cukup Andalkan Infrastruktur, Pelatihan Evakuasi Penentu Keselamatan di Gedung Bertingkat