Suara.com - Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, terkadang kita menemukan kisah-kisah yang menyentuh hati. Hal ini mengingatkan kita akan kemampuan serta kebaikan manusia.
Salah satunya adalah kisah Hafid, dokter yang telah menjalani hidup selama sembilan tahun di sebuah gubuk sederhana di kolong jembatan di kawasan Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
Hafid diketahui seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Dirinya bahkan telah menempuh pendidikan spesialis Telinga Hidung Tenggorokan (THT) di Singapura dan Italia.
Kisahnya yang terungkap melalui kanal akun TikTok @sinau_surip, bukan hanya cerita tentang luar biasanya semangat gotong royong masyarakat.
"Jenenge sudah berapa lama tinggal di sini," kata pria dalam video.
"Sekitar 9 tahun," kata Hafid, dilihat Rabu 30 Juli 2025.
Saat ditanya kenapa ia tidak pulang tidak pulang ke kampung halamannya di Jember, jawaban Hafid begitu sederhana namun sarat makna.
"Pulang paling satu minggu, nggak kerasan di rumah, balik lagi ke sini," ujarnya.
Rasa "tidak kerasan" itu bukanlah tanpa sebab. Di balik ketegaran wajahnya, Hafid menyimpan duka yang mendalam.
Ia telah kehilangan orang-orang yang paling dicintainya. Sang istri telah berpulang lebih dulu, meninggalkannya seorang diri.
Harapan satu-satunya, sang anak yang tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah, juga harus pergi untuk selamanya akibat kecelakaan. Kehilangan orang-orang yang dicintainya menjadi pukulan telak yang mengubah jalan hidupnya.
Kolong jembatan yang dingin dan sepi itu, entah bagaimana, menjadi tempatnya menemukan ketenangan yang tak lagi ia rasakan di "rumah" yang sesungguhnya.
Dibangun dari Gotong Royong, Dihidupi oleh Kebaikan
Kehidupan di kolong jembatan tentu bukanlah hal yang mudah. Namun, di sinilah keajaiban kemanusiaan muncul. Gubuk yang menjadi tempatnya bernaung ternyata tidak ia bangun seorang diri.
"Ini sampeyan bangun sendiri mas Hafid?" tanya pria tersebut.
Dengan rendah hati, ia menjawab bahwa gubuk kecilnya dibangun oleh masyarakat.
"Sama orang-orang kampung," ungkap Hafid.
Solidaritas warga sekitar tidak berhenti sampai di situ. Kisah paling mengharukan adalah bagaimana Hafid bisa bertahan hidup untuk urusan pangan setiap harinya.
Hafid bercerita bahwa warga sering mengiriminya makanan dengan cara yang unik. Dari atas jembatan, mereka menurunkan makanan menggunakan seutas tali atau tampar
"Kan ada tampar di situ. Kalau ada orang yang ngirim, digerek," jelasnya.
Mekanisme sederhana ini menjadi jembatan kebaikan yang menghubungkan dunia atas dengan kehidupannya di kolong.
Dirinya mengaku tidak selalu tahu siapa orang yang memberinya makan, karena mereka datang silih berganti.
"Biasanya itu gantian orang-orang," jawabnya.
Sebagian besar dari mereka adalah warga dari daerah sekitar yang ia sebut sebagai "Keluarga Katilang."
Lebih dari Sekadar Bertahan
Kisah Hafid adalah anomali yang indah di zaman yang serba individualistis. Di saat banyak orang sibuk dengan urusannya sendiri, masih ada orang-orang yang secara diam-diam dan konsisten merawat salah satu anggotanya yang paling rapuh.
Mereka tidak mengharapkan imbalan, bahkan banyak yang tidak ingin diketahui identitasnya. Bagi generasi milenial dan anak muda, kisah ini menjadi pengingat kuat bahwa:
- Keluarga Tidak Selalu Soal Darah: Hafidz mungkin telah kehilangan keluarga intinya, tetapi ia menemukan keluarga baru pada sosok warga yang peduli padanya.
- Kebaikan Bisa Dilakukan dengan Cara Sederhana: Mengirim sebungkus nasi melalui seutas tali mungkin terlihat sepele, tetapi bagi Hafid itu adalah penyambung hidup.
- Gotong Royong Masih Hidup: Semangat kebersamaan dan tolong-menolong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia ternyata masih mengakar kuat di beberapa komunitas.
Kisah hidup di kolong jembatan yang dialami sang dokter mengajarkan kita bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada celah bagi cahaya kebaikan untuk masuk.
Ini bukan hanya cerita tentang bertahan hidup, tetapi tentang bagaimana sebuah komunitas mampu mengangkat dan menjaga martabat sesama manusia.
Berita Terkait
-
Tren Wall Friction di TikTok Bikin Benda Nempel di Dinding, Ini Faktanya
-
Tol Semarang-Demak Seksi I Terus Dikebut, Ditargetkan Beroperasi 2027
-
Tantangan Komunikasi di 2026: Semua Bisa Viral, Tapi Tidak Semua Bisa Bermakna
-
Kaleidoskop 2025: 8 Lagu Indonesia Paling Viral, Tak Semuanya Baru Dirilis
-
Harga Diri Bangsa vs Air Mata Korban Bencana Sumatera, Sosok Ini Sebut Donasi Asing Tak Penting
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
-
29 Unit Usaha Syariah Mau Spin Off, Ini Bocorannya
-
Soal Klub Baru usai SEA Games 2025, Megawati Hangestri: Emm ... Rahasia
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
Terkini
-
Salurkan 125 Ribu Pakaian Reject ke Sumatera, Mendagri: Daripada Menumpuk di Gudang dan Rusak
-
BNI Gelar RUPSLB, Mantapkan Transformasi dan Tata Kelola Hadapi 2026
-
Babak Baru Dimulai, Atalia Praratya Siap Hadapi Ridwan Kamil di Sidang Cerai Perdana
-
Kencang Penolakan PAW Anggota DPRD Waropen, Politisi Muda Papua: Ini Cederai Demokrasi
-
Ibu Nadiem Doakan Anaknya Sembuh Agar Bisa Buktikan Tak Bersalah dalam Sidang Kasus Chromebook
-
Kemenag Siapkan 6.919 Masjid Ramah Pemudik untuk Libur Nataru
-
Jaksa Ungkap Nadiem Makarim Dapat Rp809 Miliar dari Pengadaan Chromebook
-
Dukung Pembentukan Satgas Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sumatera, Begini Kata Komisi V
-
UGM Jawab Sentilan Luhut Soal Penelitian: Kalau Riset Sudah Ribuan
-
Masih Dirawat di RS, Sidang Perdana Nadiem Makarim Ditunda: Hakim Jadwalkan Ulang 23 Desember