Suara.com - Suhu politik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mendadak mendidih. Bukan karena cuaca, melainkan karena kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang angkanya tak main-main: maksimal 250 persen.
Kebijakan ini memicu gelombang protes, yang ironisnya ditanggapi dengan tantangan terbuka oleh Bupati Pati, Sudewo.
Alih-alih meredam amarah warga, Sudewo justru menantang masyarakat untuk membawa 50 ribu massa berdemonstrasi.
Pernyataan itu memicu gelombang reaksi. Kini, Gerakan Pati Bersatu resmi melayangkan surat izin demo 13-14 Agustus 2025. Target: 50 ribu massa.
Sikap ini sontak menuai kritik tajam. "Dipilih rakyat, tapi memancing rakyat. Pajak naik, emosi ikut naik," ujar seorang warga, yang komentarnya mewakili kegeraman banyak pihak.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kenaikan fantastis ini murni untuk pembangunan yang sudah 14 tahun tertunda, atau ini hanyalah sebuah shock therapy dan akal-akalan politik untuk menguji respons publik? Mari kita bedah lebih dalam.
Di Balik Kenaikan 250 Persen: Alasan Klasik vs Jeritan Warga
Pemkab Pati, melalui Bupati Sudewo, membela kebijakan ini dengan argumen yang cukup klasik: PBB di Pati tidak pernah mengalami penyesuaian selama 14 tahun, sejak 2011.
Menurutnya, dana segar dari pajak sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan meningkatkan pelayanan publik.
Baca Juga: Viral Bupati Pati Disebut Naikkan PBB 250 Persen, Tantang 50.000 Pendemo: Saya Tidak Akan Gentar!
Bahkan, Sudewo mengklaim bahwa ia hanya menjalankan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.
"PPB ini naik karena peraturan daerah nomor 1 tahun 2024. Saya tidak membuat Perda itu, saya tidak ikut mengesahkan Perda itu," ujar Sudewo.
Namun, penjelasan ini tidak serta-merta diterima oleh warga. Bagi mereka, kenaikan yang tiba-tiba dan drastis terasa mencekik, terutama tanpa sosialisasi yang masif dan transparan.
Warga merasa kebijakan ini cacat partisipasi publik dan mengabaikan kondisi ekonomi riil masyarakat.
Kenaikan NJOP, Bukan Tarif: Logika yang Perlu Dikuliti
Penting untuk memahami bahwa "kenaikan 250 persen" ini sebenarnya adalah batasan maksimal kenaikan tagihan PBB yang harus dibayar warga.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
-
Nova Arianto Ungkap Biang Kerok Kekalahan Timnas Indonesia U-17 dari Zambia
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
Terkini
-
OTT KPK di Riau! Gubernur dan Kepala Dinas Ditangkap, Siapa Saja Tersangkanya?
-
KPK Sebut OTT di Riau Terkait dengan Korupsi Anggaran Dinas PUPR
-
Polisi Berhasil Tangkap Sindikat Penambangan Ilegal di Taman Nasional Gunung Merapi
-
600 Ribu Penerima Bansos Dipakai Judi Online! Yusril Ungkap Fakta Mencengangkan
-
Pemerintah Segera Putihkan Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan, Catat Waktunya!
-
Pengemudi Ojol Jadi Buron Usai Penumpangnya Tewas, Asosiasi Desak Pelaku Serahkan Diri
-
Sempat Kabur Saat Kena OTT, Gubernur Riau Ditangkap KPK di Kafe
-
Targetkan 400 Juta Penumpang Tahun 2025, Dirut Transjakarta: Bismillah Doain
-
Sejarah Terukir di Samarkand: Bahasa Indonesia Disahkan sebagai Bahasa Resmi UNESCO
-
Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Koalisi Sipil Ungkap 9 Dosa Pelanggaran HAM Berat Orde Baru