News / Nasional
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 11:37 WIB
Ilustrasi jurnalis yang memperjuangkan hak ketenagakerjaannya. [Dok. AJI]

Suara.com - “For everything that is really great and inspiring is created by the individual who can labour in freedom.” - Albert Einstein.

Di tengah gemuruh persiapan perayaan Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 mendatang, sebuah ironi pahit membayangi jutaan rakyatnya. Kemerdekaan sebagai bangsa nyatanya tak sejalan dengan kemerdekaan finansial individu.

Saat ini, 7,28 juta orang tercatat menganggur, dan badai Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK terus menghantam, bahkan melumpuhkan para pekerja di industri media yang dikenal sebagai pilar keempat demokrasi.

Janji kampanye Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja seolah menguap, tergantikan oleh kisah-kisah pilu mereka yang kehilangan mata pencaharian. Cerita Folly, ZA, dan Rahmat, tiga jurnalis dari media nasional berbeda yang terpaksa "menyerah", adalah potret buram dari realitas ekonomi yang kian sengkarut.

Sebelum menyelami kisah mereka, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 sudah menyalakan alarm merah. Angka pengangguran terbuka mencapai 4,76 persen atau setara 7,28 juta orang, sebuah lonjakan signifikan dari tahun sebelumnya.

Secara jumlah absolut, data Trading Economics menempatkan Indonesia di posisi puncak klasemen pengangguran se-Asia Tenggara, jauh melampaui negara tetangga seperti:

  • Filipina: 1,95 juta orang
  • Vietnam: 1,06 juta orang
  • Malaysia: 518,7 ribu orang
  • Thailand: 357 ribu orang
  • Singapura: 80,9 ribu orang

Angka ini bahkan belum menghitung gelombang PHK masif yang terjadi sepanjang pertengahan 2025, yang salah satunya menerjang industri pers nasional.

Kisah Tiga Jurnalis yang Dipaksa Menyerah

Di balik angka statistik yang dingin, ada kisah manusia yang hangat dan menyakitkan. Tiga jurnalis yang mendedikasikan hidupnya untuk menyuarakan kebenaran, kini suaranya sendiri terancam bungkam oleh keadaan.

Baca Juga: PNS Wajib Ikut Upacara 17 Agustus? Ini Aturannya

Ilustrasi PHK

Setelah satu dekade mengabdi di sebuah media arus utama di Kebayoran Lama, Folly menjadi saksi bagaimana badai PHK datang bergelombang sejak pandemi. Puncaknya terjadi pada awal 2025.

“Sebelum Lebaran itu sudah ada info juga kalau habis Lebaran akan ada gelombang lanjutan,” kata Folly kepada Suara.com, Selasa (12/8/2025).

Benar saja, ia dipanggil manajemen. Anehnya, ia diberi pilihan, mau di-PHK dengan kompensasi, atau tidak. Sebuah tawaran yang ia sebut hanya 'basa-basi'.

“Ternyata yang menyatakan mau pun ada yang nggak di-acc. Malah yang nggak mau, malah kena (PHK). Kesannya basa-basi saja,” tuturnya getir.

Beruntung, berkat jaringan dan pengalaman panjangnya, Folly cepat mendapat pekerjaan baru.

Nasib berbeda dialami ZA. Reporter yang biasa meliput kasus korupsi ini diputus kontrak secara sepihak. Perusahaan media tempatnya bekerja mengaku tak sanggup lagi membayar gaji.

“Ini nggak sesuai aturan sih, gue di-PHK secara sepihak,” tegas ZA, Rabu (13/8/2025).

Pada Juni 2025, total 34 karyawan di perusahaannya dirumahkan dalam dua gelombang. Pemecatan, kata dia, dilakukan tanpa melihat performa. Pahitnya lagi, pesangon yang menjadi haknya dibayarkan secara dicicil sebanyak empat kali.

Hingga kini, ZA masih berjuang mencari pekerjaan. Tak lagi idealis, ia melamar posisi apapun dari fotografer, pemasaran, hingga public relation.

"Gue sudah nggak bisa hitung lagi berapa banyak lamaran yang gue applied," ucapnya sambil menyesap es kopi hitam.

Kisah paling menyayat hati datang dari Rahmat. Pada Sabtu (28/6/2025) sore, saat sedang mengetik berita, sebuah pesan masuk memintanya datang ke kantor keesokan harinya. Di ruang rapat, vonis itu dijatuhkan; namanya masuk daftar PHK karena efisiensi.

Beban ini terasa berkali-kali lipat lebih berat karena istrinya sedang mengandung anak pertama mereka yang memasuki usia 8 bulan.

“Pasti menyesalkan karena gue menjadi salah satu korban yang harus terdampak kala istri tengah mengandung. Mau nggak mau, gue hanya bisa berpangku tangan dengan pesangon dari perusahaan tanpa tahu kapan bisa kembali menafkahi keluarga gue yang layak dan patut,” keluh Rahmat.

Ia merasa janji pemerintah soal ketersediaan lapangan kerja hanyalah omong kosong.

"Kondisi ini menggambarkan pemerintah saat ini tidak sepenuhnya menjawab janji untuk ketersediaan lapangan kerja yang memadai," tuturnya.

Ketiga kisah ini adalah puncak gunung es dari masalah ketenagakerjaan yang kronis. Di satu sisi, Kementerian Keuangan mengklaim ada penambahan 3,59 juta lapangan kerja baru. Namun di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda.

Bagi Folly, kemerdekaan sejati adalah saat industri media sebagai pilar demokrasi bisa kuat secara finansial, bukan malah membuang talenta-talenta terbaiknya. Bagi ZA, kemerdekaan adalah kebebasan berekspresi lewat tulisan yang kini direnggut darinya.

Namun, makna paling menohok datang dari Rahmat, yang memandang perayaan kemerdekaan ke-80 ini dengan sinis.

“Buat gue, merdeka ke-80 ini cuma tagline, label, dan normatif. Toh selama ini tindakan korupsi masih dinormalisasi, apalagi oleh seorang pimpinan tertinggi,” katanya.

Pada akhirnya, di usianya yang ke-80, Indonesia mungkin telah merdeka, tetapi belum sepenuhnya mampu memberikan ruang bagi rakyatnya untuk mandiri secara finansial.

_________________________

Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.

Load More