News / Nasional
Senin, 22 September 2025 | 17:13 WIB
Ketua CC PKI DN Aidit (kiri) dan Wakil Ketua PKI MH Lukman (kanan) sedang berdoa dalam sebuah rapat di Kantor CC PKI, Kramat Raya 81. [dokumentasi/Oey Hay Djoen]
Baca 10 detik
  • Selembar foto menunjukkan DN Aidit dan petinggi PKI sedang berdoa.
  • PKI di bawah DN Aidit merangkul kelompok agama sebagai strategi politik.
  • Paham komunisme tidak selalu identik dengan ateisme.
  • Marxisme oleh Gen Z kekinian dianggap semakin relevan.

Suara.com - Selembar foto hitam-putih dari masa lampau kembali mengundang diskusi. Di dalamnya, tampak dua tokoh sentral Partai Komunis Indonesia atau PKI duduk di meja rapat.

Pria di sisi kiri, dengan rambut tersisir rapi, adalah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central (CC) PKI.

Sementara di sebelahnya, mengenakan peci, adalah MH Lukman, Wakil Ketua Pertama CC PKI.

Namun, bukan posisi mereka yang mencuri perhatian, melainkan gestur keduanya.

DN  Aidit dan MH Lukman terlihat khusyuk menengadahkan kedua tangan, sebuah pose yang identik dengan aktivitas berdoa dalam tradisi Islam.

Sedangkan belakang mereka, sebuah patung pemimpin revolusi Rusia yang termasyhur, VI Lenin, menjadi saksi bisu momen tersebut.

Bagi generasi yang tumbuh di bawah narasi tunggal Orde Baru, pemandangan ini mungkin terasa janggal, bahkan mustahil.

Ketua CC PKI DN Aidit (kiri) dan Wakil Ketua PKI MH Lukman (kanan) sedang berdoa dalam sebuah rapat di Kantor CC PKI, Kramat Raya 81. [dokumentasi/Oey Hay Djoen]

Propaganda selama puluhan tahun secara sistematis menanamkan citra bahwa PKI adalah partai anti-Tuhan, ateis, dan musuh seluruh umat beragama.

Foto ini, bagaimana pun, membuka jendela ke realitas sejarah yang jauh lebih kompleks.

Baca Juga: 11 Buku Pendemo Disita, Dandhy Laksono Kritik: Bukti Polisi Tidak Membaca

Strategi Merangkul, Bukan Memusuhi

Foto Aidit dan Lukman berdoa bukanlah anomali, melainkan cerminan dari strategi politik PKI di bawah kepemimpinan Aidit.

Sadar bahwa basis massa terbesar di Indonesia adalah kaum tani dan buruh yang religius, PKI tidak memposisikan diri sebagai musuh agama.

Sebaliknya, mereka berusaha merangkul dan mencari titik temu antara ajaran komunisme dengan nilai-nilai keagamaan yang berpihak pada kaum tertindas.

PKI pada era Demokrasi Terpimpin aktif mendekati kelompok-kelompok agama. Mereka kerap mengutip ayat-ayat suci yang berbicara tentang keadilan sosial, perlawanan terhadap penindasan, dan pembelaan terhadap fakir miskin.

Tujuannya jelas: menunjukkan bahwa perjuangan kelas yang diusung komunisme sejalan dengan semangat keagamaan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Banyak anggota dan simpatisan PKI pada saat itu adalah muslim yang taat, pendeta, atau tokoh agama lokal.

Bagi mereka, menjadi seorang komunis tidak berarti harus melepaskan keyakinan agamanya.

Perjuangan PKI dianggap sebagai jalan politik untuk mewujudkan cita-cita luhur agama dalam tataran praktis.

Ketua CC PKI DN Aidit dan para pemimpin partai dalam sebuah rapat di Kantor CC PKI, Kramat Raya 81. [dokumentasi/Oey Hay Djoen]

Gen Z: Marxisme semakin relevan

Sebuah ironi membayangi perjalanan sejarah intelektual Indonesia. Marxisme, paham yang pernah menjadi sumber inspirasi utama bagi kaum pergerakan antikolonial jauh sebelum kemerdekaan, kini menghadapi ancaman pidana formal melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.

Perjalanan panjang paham ini di Tanah Air dimulai pada peralihan abad ke-20, ketika seorang sosialis Belanda, Henk Sneevliet, mendirikan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV).

Menurut sejarawan Andi Achdian, ISDV menjadi organisasi Marxisme-Leninisme pertama di Hindia Belanda, lahir sebagai respons terhadap penindasan kolonial.

“Marxisme selalu muncul dalam situasi adanya ketertindasan, karena marxisme satu-satunya ide yang memberikan perlawanan terhadap kolonialisme,” jelas Andi.

Paham ini dengan cepat menyatu dengan denyut pergerakan lokal. ISDV menjalin hubungan erat dengan Sarekat Islam (SI), yang puncaknya melahirkan faksi ‘SI Merah’ yang diisi oleh tokoh-tokoh muda progresif seperti Semaun, Alimin, dan Darsono.

Kelompok inilah yang kemudian mengubah ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH), cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di bawah bendera PKI, Marxisme menemukan basis massa yang luas di kalangan buruh dan petani, bahkan berhasil menjadi salah satu partai pemenang dalam Pemilu 1955.

Namun, arus sejarah berbalik secara dramatis pasca-peristiwa G30S 1965. PKI dituding sebagai dalang dan dibubarkan melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966.

Sejak saat itu, rezim Orde Baru di bawah Soeharto secara sistematis memberangus Marxisme. Tidak hanya melalui hukum, tetapi juga lewat propaganda budaya melalui film dan sastra yang menanamkan citra antagonis pada paham tersebut.

Ironisnya, pemikiran turunan Marxisme, seperti teori hegemoni Antonio Gramsci, justru turut mengilhami gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto.

Kini, setelah lebih dari dua dekade Reformasi, negara kembali menguatkan narasi anti-Marxisme melalui Pasal 188 KUHP Tahun 2022, yang mengancam pidana penjara hingga empat tahun bagi penyebar ajaran tersebut.

Menurut Andi Achdian, langkah ini menunjukkan watak anti-intelektualitas. Ia berpendapat bahwa rezim yang fobia terhadap Marxisme cenderung bersifat eksploitatif.

“Marxisme adalah antitesis dari sistem eksploitatif, sehingga ketika ada rezim yang menduplikasi sesuatu sistem yang eksploitatif, ya pasti dia akan mematikan itu (gagasan marxisme),” ujarnya.

Di tengah kondisi ketimpangan yang semakin nyata, di mana data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan 68 persen tanah dikuasai oleh 1 persen korporasi, Marxisme dinilai menjadi semakin relevan sebagai alat analisis sosial.

Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate, meyakini bahwa semakin Marxisme dilarang, paham tersebut justru akan semakin diminati, terutama oleh generasi muda.

Ia memprediksi bahwa Generasi Z akan menggunakan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan perlawanan terhadap penindasan.

“Ada adagium, ‘semakin kita ditekan, semakin kita berontak’," kata Virdika. "Saya rasa di sosmed akan menjadi berisik meskipun ada pelarangan. Marxisme akan semakin menjual, karena semakin relevan.”

Load More