News / Nasional
Senin, 29 September 2025 | 11:42 WIB
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. (Suara.com/Novian)
Baca 10 detik
  • Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami perpecahan (dualisme) kepemimpinan setelah Muktamar Ke-10 menghasilkan dua ketua umum
  • Pemerintah, melalui Menko Yusril Ihza Mahendra, menyatakan sikap netral, objektif, dan tidak akan mengintervensi konflik internal PPP
  • Kemenkumham tidak akan mengesahkan kepengurusan baru dari salah satu kubu hingga adanya islah

Suara.com - Panggung politik nasional kembali diwarnai drama perpecahan partai. Kali ini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terbelah dua usai pelaksanaan Muktamar Ke-10 di Ancol akhir September 2025.

Tak tanggung-tanggung, muktamar tersebut melahirkan dua ketua umum terpilih, yakni Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, yang sama-sama mengklaim sebagai pemimpin sah partai berlambang Ka'bah.

Di tengah panasnya perebutan takhta, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengambil sikap tegas.

Pemerintah menyatakan tidak akan ikut campur dan memilih untuk menjadi wasit yang netral dalam konflik internal ini.

"Pemerintah wajib bersikap objektif dan tidak boleh memihak kepada salah satu kubu yang bertikai dalam dinamika internal partai mana pun," kata Yusril saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (22/9/2025).

Sikap hati-hati ini diambil pemerintah untuk menghindari tudingan intervensi.

Baik kubu Mardiono maupun Agus Suparmanto sama-sama mengklaim terpilih secara aklamasi dan berpegang pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP.

Keduanya pun kini berlomba untuk mendaftarkan susunan pengurus baru mereka ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Menanggapi hal ini, Yusril mempersilakan kedua kubu untuk mengajukan permohonan pengesahan.

Baca Juga: Perang Klaim Ketum PPP: Mardiono Vs Agus Suparmanto, Siapa yang Sah?

Namun, ia memastikan bahwa pemerintah akan melakukan kajian mendalam sebelum mengambil keputusan.

"Pemerintah wajib mengkaji dengan saksama permohonan tersebut untuk memastikan mana yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan mana yang tidak," ujarnya sebagaimana dilansir kantor berita Antara.

Yusril menekankan bahwa konflik internal partai adalah urusan rumah tangga yang harus diselesaikan sendiri oleh partai tersebut, baik melalui musyawarah, mahkamah partai, atau jalur pengadilan.

Ia bahkan secara halus meminta kedua pihak untuk tidak menyeret pemerintah menjadi penengah.

"Sebab hal tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai bentuk intervensi atau tekanan halus dari pemerintah," tutur Yusril.

Menurutnya, kemandirian partai politik adalah pilar utama demokrasi. Pemerintah tidak akan mengesahkan kepengurusan baru dari salah satu kubu selama konflik masih berlangsung.

Keputusan baru akan diambil setelah adanya kesepakatan internal (islah), putusan mahkamah partai, atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Yusril menegaskan bahwa satu-satunya landasan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan adalah pertimbangan hukum, bukan politik. Hal ini untuk menjaga marwah pemerintah dan kemandirian partai politik di Indonesia.

"Pemerintah tidak boleh menggunakan pertimbangan politik dalam mengesahkan susunan pengurus partai politik mana pun," ujar Yusril menegaskan.

Load More