News / Nasional
Rabu, 08 Oktober 2025 | 15:29 WIB
Sidang Praperadilan Nadiem Makarim. (Suara.com/Faqih Fathurra)
Baca 10 detik
  • Ahli hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menyebut penghitungan kerugian negara tak wajib berasal dari BPK.
  • Unsur kerugian negara bisa dibuktikan lewat alat bukti lain, seperti saksi, surat, atau audit dari BPKP.

  • Suparji menilai persoalan audit seharusnya dibahas dalam pokok perkara, bukan di tahap praperadilan.

 
 

Suara.com - Ahli hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menuturkan, jika penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tidak harus berasal dari BPK.

Terlebih, tidak ada aturan jelas menyoal kerugian negara itu harus dibuat laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Suparji mengatakan, persoalan kerugian negara itu perlu ada pembuktiannya, bisa dengan saksi, surat, hingga ahli. Namun, tidak ada perintah jelas dalam konteks alat bukti unsur kerugian negara harus dibuktikan dengan LHP.

"Jadi ahli tidak memiliki pengetahuan bahwa ada sebuah norma, ada sebuah teori di mana yang menyatakan untuk mengkualifikasi pemenuhan unsur kerugian keuangan negara harus berupa LHP," jelas Suparji.

Unsur kerugian keuangan negara, lanjut Suparji, bisa dengan menyandarkan alat bukti yang lain, seperti saksi, surat, atau kemudian BPKP.

“Bahwa kemudian ketika misalnya dalam sebuah fase audit kinerja, BPKP menemukan tidak ada unsur kerugian keuangan negara, tetapi dalam proses audit misalnya investigasi audit perhitungan kerugian keuangan negara menemukan tentang kerugian negara tadi itu, maka itulah yang menjadi dasar dalam konteks menentukan pemenuhan unsur kerugian keuangan negara tadi itu," ujarnya.

Sebabnya, dalam pembuktian unsur kerugian keuangan negara berdasarkan keterangan saksi, ahli, termasuk BPKP, dan tidak ada LHP, itu bukan satu hambatan untuk memenuhi unsur tentang kerugian keuangan negara tersebut.

Pasalnya, saat sudah ada data-data tentang kerugian keuangan negara yang sudah bisa dihitung, hal itu telah memenuhi unsur kerugian keuangan negara dimaksud.

Terlebih, lanjut Suparji, persoalan penghitungan kerugian keuanganan negara itu menjadi pokok bahasan dalam pokok perkaranya nanti. Bukan dalam konteks praperadilan.

Baca Juga: Sidang Praperadilan Nadiem Makarim Kembali Digelar, Kejagung Hadirkan Ahli Hukum dan Bawa Bukti Ini

"Kaitan keharusan LHP itu tidak ada sebuah keharusan secara terpenting kerugian keuangan negara tadi itu sudah dapat dihitung. Soal hitungan tentang kerugian keuangan negara nanti adalah pada majelis hakim yang akan menilai tentang pokok perkaranya karena bisa jadi audit Rp1 miliar, hakim menemukan Rp2 miliar, maka itu yang menjadi sandaran untuk menentukan tentang kerugian keuangan negara tadi itu," tandasnya.

Dalam persidangan sebelumnya, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menyebut pentingnya audit keuangan negara dalam dugaan perkara korupsi program digitalisasi pendidikan dalam pengadaan laptop berbasis chromebook.

Hal ini dinyatakan oleh Chairul Huda, dalam sidang praperadilan dengan tersangka eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim.

"Ada kerugian keuangan negara saja belum tentu korupsi, gedung pengadilan ini terbakar, merugikan negara, rugi, tapi apakah karena korupsi? Makanya penting sekali adanya audit menghubungkan antara kerugian tersebut dengan sebab-sebab melawan hukum mengenai hal itu," jelasnya, di ruang sidang utama, Pengadilan Negeri Jakarta Selata, Selasa.

Sehingga, lanjut Chairul, kerugian negara menjadi penting dalam pembuktian sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pun, lanjut Chairul, jika ada kerugian keuangan negara belum tentu ada tindakan korupsi.

Sebabnya, Chairul menyatakan, pembuktian korupsi membutuhkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Audit BPK merupakan legalitas atas bukti kerugian keuangan negara tersebut.

Load More