- Sebanyak 18 akademisi hukum pidana terkemuka Indonesia mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi untuk mendukung gugatan Hasto Kristiyanto terhadap Pasal 21 UU Tipikor
- Para ahli menilai pasal obstruction of justice tersebut merupakan "pasal karet" karena normanya kabur
- Mereka mendesak MK untuk membatasi tafsir pasal tersebut agar hanya berlaku untuk tindakan yang disertai niat jahat dan dilakukan dengan cara melawan hukum
Suara.com - 18 orang akademisi dan pakar hukum pidana dari berbagai universitas ternama di Indonesia turun gunung mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan atau amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini diambil untuk mendukung uji materi yang diajukan Hasto Kristiyanto terhadap pasal obstruction of justice dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Para guru besar dan doktor hukum ini menilai Pasal 21 UU Tipikor yang menjadi landasan hukum delik merintangi penyidikan mengandung norma yang kabur, berbahaya, dan berpotensi menjadi alat kriminalisasi massal.
Dalam dokumen setebal puluhan halaman yang diserahkan ke MK pada Kamis (9/10/2025) itu, mereka membedah pasal yang dianggap sebagai "pasal karet" tersebut.
Sorotan utama tertuju pada frasa "mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung" dalam pasal tersebut. Menurut para ahli, frasa ini tidak memiliki batasan yang jelas dan melanggar asas fundamental hukum pidana, yaitu lex certa (rumusan harus jelas) dan lex stricta (tidak boleh ditafsirkan secara luas).
"Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam," kata Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, sebagaimana dilansir kantor berita Antara, Minggu (12/10/2025).
Kekaburan norma ini, menurut para akademisi, telah melahirkan praktik over-kriminalisasi yang mengancam kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. Mereka juga menyoroti kejanggalan lain, yakni tidak adanya unsur "melawan hukum" dalam rumusan pasal tersebut. Hal ini membuka celah di mana tindakan legal seperti melakukan pembelaan diri di pengadilan justru bisa dipidana karena dianggap menghalangi penyidikan.
Ancaman pidananya pun dinilai tidak proporsional. "Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," ujar Deni.
Deretan pakar hukum yang terlibat, termasuk Prof. Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. Mahmutarom HR dari Universitas Wahid Hasyim, dan Prof. Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, mendesak MK untuk memberikan tafsir yang membatasi penerapan pasal ini.
Solusi yang mereka tawarkan adalah agar pasal tersebut hanya dapat menjerat perbuatan yang disertai niat jahat (mens rea) dan dilakukan melalui cara-cara ilegal seperti kekerasan, intimidasi, atau penyuapan, sejalan dengan standar internasional dalam Konvensi PBB Antikorupsi (Article 25).
Baca Juga: Minta MK Hapus Uang Pensiun DPR, Lita Gading Dibalas Hakim: Mereka kan Kerja
"Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan," tulis para pakar tersebut dalam amicus curiae itu.
Mengutip teori hukum dari Paul Scholten dan J.A. Pontier, mereka mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral. "Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar,".
Berita Terkait
-
Minta MK Hapus Uang Pensiun DPR, Lita Gading Dibalas Hakim: Mereka kan Kerja
-
UU PDP Dinilai Bisa Jadi 'Tameng' Pejabat Korup, Koalisi Sipil Minta MK Beri Pengecualian
-
Uji Materi UU PDP di MK, Koalisi Sipil Minta Jurnalisme Tak Dianggap Perbuatan Melawan Hukum
-
Gugat Uang Pensiun Anggota DPR ke MK, Lita Gading Ngaku Diserang Oknum Caleg Gagal
-
Siap Terbitkan PMA, Kemenag Sebut Putusan MK Perkuat Pengelolaan Zakat
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- 5 Link DANA Kaget Terbaru Bernilai Rp 434 Ribu, Klaim Sekarang Sebelum Kehabisan!
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
GIPI Soroti Pungutan Wisman dalam Revisi UU Kepariwisataan: Industri Wisata Bisa Terdampak
-
Momen Tepuk Sakinah Wali Kota Tegal Bikin Jokowi Ngakak, Nikahi Gadis Solo dengan Saksi Presiden
-
Mendorong Pertumbuhan Industri Halal yang Inklusif dan Berdaya Saing di ISEF 2025
-
Driver Ojol Ditemukan Tewas di Rumahnya, Warga Cium Bau Tak Sedap dari Dalam Kamar
-
Truk Tangki Pertamina Meledak di Kemanggisan, Warga Panik dan Kocar-Kacir Tengah Malam
-
Advokat Senior Sorot Kasus Dugaan Korupsi Digitalisasi Pendidikan Nadiem Makarim: Banyak Kejanggalan
-
OPM Serang TNI di Papua Barat: Praka Amin Gugur, Senjata Dirampas, Kodam Sumpah Kejar Pelaku
-
Eksekusi Silfester Matutina Mandek, Kejaksaan Dinilai Tebang Pilih Jalankan Hukum
-
BMKG Prediksi Hujan Lebat di Sejumlah Wilayah, BNPB Ingatkan Ancaman Banjir dan Longsor
-
Dokter Tifa Doakan Orang Tua Jokowi Lapang Kubur Usai Selidiki Silsilah di Makam Keluarga