- Aktivis perempuan menilai negara belum menunjukkan keseriusan dalam menangani kasus-kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya
- Siti menjelaskan, saat dirinya masih menjabat di Komnas Perempuan, isu femisida belum banyak dipahami oleh publik maupun para pembuat kebijakan
- Anindya Restuviani, menilai lemahnya keseriusan negara dalam menangani femisida terlihat dari tidak adanya prioritas politik untuk mengatur isu tersebut secara hukum
Suara.com - Aktivis perempuan menilai negara belum menunjukkan keseriusan dalam menangani kasus-kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya. Padahal, angka femisida di Indonesia terus meningkat setiap tahun.
Dalam kunjungan ke kantor Suara.com, mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 2020–2025, Siti Aminah, menyatakan bahwa Indonesia sudah seharusnya memiliki aturan pidana khusus yang mengatur tentang femisida.
Ia menilai pengakuan terhadap femisida sebagai tindak pidana khusus akan menjadi langkah penting untuk memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan.
"Mungkin jangka menengah sampai jangka panjang, idealnya adalah itu pidana khusus tentang femisida. Karena kalau kita bicara pidana umum itu kan sudah ada KUHP 2023 yang berlaku pada 2026," ujar Siti di Kantor Suara.com, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Siti menjelaskan, saat dirinya masih menjabat di Komnas Perempuan, isu femisida belum banyak dipahami oleh publik maupun para pembuat kebijakan.
Pada saat itu, advokasi yang dilakukan masih berfokus pada penguatan pasal-pasal diskriminasi berbasis gender di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Dalam pembahasan itu pun, menurutnya, ada perbedaan persepsi dalam pemaknaan hukum di Indonesia. Ia menambahkan, saat memberi masukan untuk RUU KUHP, dirinya sempat mengusulkan agar tindak pidana kebencian juga mencakup dimensi gender.
Namun, usulan tersebut tidak diakomodasi karena sistem hukum pidana di Indonesia masih berpegang pada prinsip netralitas hukum.
"Waktu diskusi memberikan masukan untuk RUU KUHP, untuk tindak pidana kebencian, saya meminta dimasukkan misi gender. Jadi kan kebencian itu misalnya berdasarkan ras, suku, bisa gak ditambahin misalnya ada gendernya. Karena hukum pidana kita kan netral (gender)," ujar dia.
Baca Juga: Kasus Femisida Melonjak, Komnas Perempuan Sebut Negara Belum Akui sebagai Kejahatan Serius
Sementara itu, Direktur Program Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, menilai lemahnya keseriusan negara dalam menangani femisida terlihat dari tidak adanya prioritas politik untuk mengatur isu tersebut secara hukum.
Ia mengaku beberapa kali bertemu dengan pihak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membahas femisida. Namun, Anindya menilai bahwa upaya-upaya tersebut belum berujung pada komitmen nyata dari pemerintah.
"Menurut saya responnya itu, political will-nya kayak bukan menjadi prioritas ya, kalau saya melihatnya seperti itu," ucapnya.
Data dari Jakarta Feminist mencatat bahwa 209 perempuan menjadi korban femisida oleh 239 pelaku, atau setara dengan satu perempuan dibunuh setiap dua hari sekali di Indonesia.
Jakarta Feminist juga menghitung tingkat rentan tiap provinsi dengan membandingkan jumlah kasus femisida dan 100.000 jumlah penduduk perempuan di provinsi tersebut sesuai dengan data BPS terbaru.
Hasilnya Papua Selatan jadi yang tertinggi dengan tingkat kerawanan 0.76 persen. Jakarta Feminis melihat kalau beradanya Papua sebagai provinsi dengan tingkat rentan femisida tertinggi tidak bisa dipisahkan dari konteks konflik bersenja-ta dan militerisme yang berkepanjangan di wilayah ini.
Berita Terkait
-
Kasus Femisida Melonjak, Komnas Perempuan Sebut Negara Belum Akui sebagai Kejahatan Serius
-
Review Film Suffragette, Mengisahkan Perjuangan Hak Pilih Perempuan
-
Hak Reproduksi Dianggap Beban, Komnas Perempuan Desak Reformasi Kebijakan Ketenagakerjaan
-
Gender Reveal! Nino Fernandez dan Steffi Zamora Siap Miliki Anak Perempuan
-
Perempuan Pesisir dan Beban Ganda di Tengah Krisis Iklim
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Istana Pastikan Patuhi Putusan MK, Polisi Aktif di Jabatan Sipil Wajib Mundur
-
Polemik Internal Gerindra: Dasco Sebut Penolakan Budi Arie Dinamika Politik Biasa
-
KPK Usut Korupsi Kuota Haji Langsung ke Arab Saudi, Apa yang Sebenarnya Dicari?
-
Boni Hargens: Putusan MK Benar, Polri Adalah Alat Negara
-
Prabowo Disebut 'Dewa Penolong', Guru Abdul Muis Menangis Haru Usai Nama Baiknya Dipulihkan
-
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, Sektor Energi hingga Kebebasan Sipil Disorot: Haruskah Reshuffle?
-
Hendra Kurniawan Batal Dipecat Polri, Istrinya Pernah Bersyukur 'Lepas' dari Kepolisian
-
400 Tersangka 'Terlantar': Jerat Hukum Gantung Ratusan Warga, Termasuk Eks Jenderal!
-
Respons Pimpinan DPR Usai MK Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Apa Katanya?
-
Roy Suryo Cs Diperiksa Maraton: Dicecar Ratusan Pertanyaan Soal Fitnah Ijazah Jokowi!