News / Nasional
Selasa, 18 November 2025 | 12:43 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)
Baca 10 detik
  • DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang.
  • Pengesahan ini memicu kritik publik.
  • Beberapa poin kontroversial mencakup investigasi tanpa izin hakim.

Suara.com - DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP menjadi Undang-Undang.

Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna ke-8 Masa Sidang II tahun 2025–2026, yang berlangsung pada Selasa, 18 November 2025, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Rapat pengesahan yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani tersebut turut dihadiri oleh para Wakil Ketua DPR, termasuk Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Saan Mustafa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal.

"Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang," tanya Puan, yang dijawab serentak dengan kata "Setuju," oleh anggota DPR yang hadir.

Proses pengesahan ini menarik perhatian karena minimnya kehadiran fisik anggota dewan. Rapat Paripurna hanya dihadiri secara langsung oleh 242 anggota dan 100 orang secara daring, dari total 579 anggota DPR.

Keputusan tingkat dua ini dilakukan setelah draf RKUHAP sebelumnya telah disepakati oleh delapan fraksi di Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR pada Kamis (13/11/2025).

Daftar Pasal Kontroversial UU KUHAP 

Meskipun telah disahkan, pembahasan mengenai RKUHAP yang berlangsung intensif sejak Februari 2025 ini tidak luput dari sorotan tajam dan kritik keras dari publik dan aktivis hukum.

Kekhawatiran utama terletak pada sejumlah pasal yang dinilai akan melemahkan pengawasan peradilan, mempersempit hak warga, dan membuka celah penyalahgunaan wewenang aparat.

Baca Juga: DPR Kejar Target Sahkan RKUHAP Hari Ini, Koalisi Sipil Laporkan 11 Anggota Dewan ke MKD

Berikut adalah beberapa pasal RKUHAP yang paling ramai dikritik dan dianggap kontroversial:

1. Isu Pengawasan dan Transparansi Proses Hukum:

Pasal 149, 152, 153, 154 (Pengawasan Hakim Dipersempit): Sejumlah pasal ini dianggap secara signifikan mempersempit peran hakim dalam mengawasi kerja penyidik.

Ini berarti banyak keputusan krusial selama tahap penyidikan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin pengadilan.

Situasi ini dikhawatirkan membuka ruang lebar bagi penyalahgunaan wewenang dan proses yang tertutup.

Pasal 16 (Investigasi Khusus Tanpa Pengawasan): Pasal ini memberikan ruang bagi penyelidik untuk menggunakan metode investigasi khusus, seperti pembelian terselubung.

Namun, kritik utama adalah pasal ini tidak mewajibkan adanya izin hakim atau pengawasan dari pihak luar, sehingga teknik investigasi ini rawan disalahgunakan untuk menjebak warga.

Pasal 138 ayat (2) huruf d, 191 ayat (2), 223 ayat (2)-(3) (Sidang Elektronik Minim Transparansi): RUU memperbolehkan proses sidang dilakukan secara daring atau elektronik.

Masalahnya, tidak ada standar yang jelas mengenai keamanan data, rekaman resmi, hingga akses publik yang memadai. Tanpa aturan teknis yang ketat, sidang daring berpotensi menjadi tidak transparan dan rentan terhadap manipulasi.

2. Isu Hak Warga dan Keadilan:

Pasal 85, 88, 89, 90, 93, 105, 106, 112 (Upaya Paksa Tanpa Batasan Jelas): Pasal-pasal yang mengatur penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan (upaya paksa) dinilai tidak memiliki standar yang tegas mengenai "kapan boleh melakukan upaya paksa."

Ketidakjelasan batasan ini berisiko membuat tindakan aparat menjadi sewenang-wenang dan melanggar hak asasi warga negara.

Pasal 23 (Laporan Berpotensi Diabaikan): Pasal ini hanya mengatur alur pelaporan secara internal di kepolisian.

Kritik utama adalah RKUHAP tidak menjelaskan kewajiban tindak lanjut atau batas waktu pemeriksaan laporan, serta tidak ada mekanisme pengawasan.

Laporan masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual yang rentan, berpotensi diabaikan tanpa adanya pertanggungjawaban yang jelas.

Pasal 134–139, 168–169, 175 ayat (7) (Hak Korban dan Saksi Tidak Operasional): Meskipun RKUHAP menyebutkan hak korban dan saksi (seperti pendampingan psikologis atau bantuan hukum), pasal-pasal ini tidak menjelaskan siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhinya.

Akibatnya, hak-hak ini rentan terabaikan atau menjadi polemik saling lempar tanggung jawab antar instansi.

3. Isu Standar Hukum dan Advokasi:

Pasal 85–88, 222, 224–225 (Standar Pembuktian Tidak Jelas): Sejumlah pasal ini dikritik karena tidak mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan “bukti yang cukup”, seberapa kuat bukti harusnya, atau bagaimana proses penilaian relevansinya dilakukan dalam sebuah perkara.

Pasal 33, 142 ayat (3) huruf b, 146 ayat (4)-(5), 197 ayat (10), Pasal 1 angka 20–21 (Peran Advokat Dipersempit): Pasal-pasal ini dianggap mempersulit peran advokat dalam memberikan pendampingan hukum kepada tersangka dan saksi.

Pembatasan ruang gerak kuasa hukum dikhawatirkan menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan warga negara yang sedang diperiksa.

Pasal 74–83 (Restorative Justice/RJ): RKUHAP mencampuradukkan konsep RJ (penyelesaian damai yang berfokus pada pemulihan) dengan penghentian perkara.

Tanpa adanya pengawasan pengadilan yang memadai, dikhawatirkan penyelesaian damai ini disalahgunakan untuk “menghilangkan” kasus, terutama yang melibatkan individu atau pihak yang memiliki pengaruh besar.

Pengesahan RKUHAP menjadi Undang-Undang ini menandai berakhirnya penggunaan KUHAP lama yang telah berlaku sejak 1981, namun sekaligus memulai babak baru perdebatan dan pengujian di mata publik dan lembaga peradilan.

Load More