News / Nasional
Kamis, 27 November 2025 | 18:33 WIB
Ilustrasi nikah siri. (Gambar dikreasikan oleh AI)
Baca 10 detik
  • Promosi jasa nikah siri paket "akad kilat" di TikTok menjadi viral, memicu perdebatan mengenai komodifikasi ritual agama.
  • Nikah siri sah secara agama namun tidak diakui negara, menghilangkan perlindungan hukum bagi istri dan hak anak.
  • Data menunjukkan tingginya angka nikah siri karena biaya, birokrasi, dan lemahnya pengawasan penegakan hukum negara.

Data 2025 menunjukkan kontras yang mencolok: 1,5 juta pasangan menikah resmi melalui KUA, tetapi sekitar 34,6 juta pasangan memilih menikah tanpa pencatatan negara.

Lonjakan jumlah pernikahan tidak tercatat memberikan gambaran lain tentang betapa kompleksnya persoalan ini.

Alasannya berlapis. Ada yang mengeluhkan biaya dan proses administrasi. Ada yang ingin proses cepat tanpa birokrasi. Namun sebagian lain memilih nikah siri untuk menghindari prosedur hukum poligami.

Di media sosial, terutama Threads, perempuan mulai berani membagikan pengalaman mereka sebagai istri kedua dalam pernikahan siri—sebuah ruang suara yang jarang dipotret media arus utama.

Seorang pengguna menulis kisahnya:

Aku dulu istri kedua (TIDAK UNTUK DICONTOH). Awalnya nikah siri, lalu pas mau sidang poligami aku mundur meski sudah ada surat izin istri pertama. Kalau bisa milih jangan mau siri.

Cerita-cerita semacam ini memperlihatkan bagaimana nikah siri sering dijadikan jalan pintas untuk menghindari proses legal, tetapi justru membuka pintu risiko baru, terutama bagi perempuan yang kehilangan perlindungan hukum, akses identitas anak, hingga hak atas nafkah.

Perbandingan angka pernikahan tercatat dan tidak tercatat di Indonesia sepanjang tahun 2025. (Suara.com/Aldie)

Ada Celah Hukum yang Membiarkannya Terjadi

Meski undang-undang mewajibkan pencatatan nikah, realitas hukum tak sepenuhnya mampu menutup celah.

Baca Juga: Suami Nangis Akui Nikahi Siri Inara Rusli, Istri Sah Minta Doa Laporan Kasus Zina Jalan Terus

Penelitian Universitas Diponegoro (2019) menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan dan minimnya mekanisme penegakan membuat nikah siri tetap bertahan sebagai praktik yang “dibiarkan terjadi”.

Banyak masyarakat percaya bahwa sah agama = sah negara, menunjukkan literasi hukum yang masih rendah.

Dalam banyak kasus, pasangan bahkan tidak pernah diberi pemahaman menyeluruh tentang risiko nikah tanpa pencatatan.

Ketika pengetahuan hukum minim, dan pelayanan negara belum merata, nikah siri menjadi solusi yang tampak mudah, meski penuh jebakan.

Fenomena promosi nikah siri di TikTok sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es masalah yang jauh lebih dalam.

Di balik video-video viral itu, ada persoalan struktural yang selama ini dibiarkan menggantung: akses pencatatan pernikahan yang belum merata, literasi hukum yang rendah, budaya yang masih memaklumi praktik nikah siri, pengawasan regulasi yang lemah, hingga dinamika relasi gender yang sering kali tidak seimbang.

Load More