- KUHAP baru disahkan DPR di tengah kontroversi dan kritik dari masyarakat sipil.
- Koalisi menilai KUHAP beri wewenang berlebih pada aparat tanpa kontrol yang memadai.
- Penerapan yang terburu-buru dikhawatirkan merugikan masyarakat dan diminta dibatalkan lewat Perppu.
Suara.com - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memasuki babak baru setelah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Namun, pengesahan ini justru memantik polemik. Muncul pertanyaan besar: apakah KUHAP baru ini benar-benar berpihak pada masyarakat, atau justru menjadi ancaman?
Tok, tok, tok... Tiga kali ketukan palu dari Ketua DPR RI Puan Maharani pada Rapat Paripurna, Selasa, 18 November 2025, menandai persetujuan Rancangan KUHAP (RKUHAP) menjadi undang-undang.
Diiringi pekik "setuju" dari para anggota dewan, Indonesia pun resmi memiliki KUHAP baru setelah 44 tahun lamanya.
Alasan di Balik Pembaruan KUHAP
Pembahasan aturan baru mengenai tata acara hukum pidana ini memang menjadi perbincangan hangat sepanjang tahun.
KUHAP lama, yang berlaku sejak 1981, dianggap mendesak untuk direvisi, terutama setelah DPR dan pemerintah lebih dulu mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Alhasil, RKUHAP pun masuk dalam agenda legislasi DPR RI melalui Komisi III bersama pemerintah.
Baca Juga: Pemerintah Usul Hapus Pidana Minimum Kasus Narkotika, Lapas Bisa 'Tumpah' Lagi?
Dalam praktiknya selama 44 tahun, KUHAP lama dinilai memiliki banyak kekurangan dan celah yang tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, serta dinamika sosial dan ekonomi masyarakat.
Hal ini setidaknya pernah disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI, Rikwanto, dalam Forum Legislasi bertema "Komitmen DPR Menguatkan Hukum Pidana melalui Pembahasan RUU KUHAP".
Panitia Kerja (Panja) pun dibentuk, dan pembahasan resmi dimulai pada Senin (7/7/2025), setelah DPR menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada Kamis (26/6/2025).
Proses pembahasan terus berjalan hingga Revisi KUHAP rampung di tingkat I pada Kamis (11/11/2025). Panja sepakat membawa aturan baru itu ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman beserta jajarannya menggelar konferensi pers hanya beberapa jam sebelum KUHAP baru disahkan.
Mereka mengklaim pembahasan KUHAP selama ini telah mengedepankan transparansi dan terbuka untuk dipantau. Namun, klaim transparansi ini dibantah mentah-mentah oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.
Sorotan dari Koalisi Sipil
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M Fadhil Alfathan, yang juga tergabung dalam Koalisi, mengungkapkan mengapa KUHAP baru ini dinilai bermasalah sejak awal.
Semua bermula ketika Koalisi Masyarakat Sipil mencium gerak-gerik DPR dan Pemerintah yang akan mengebut pembahasan revisi KUHAP sejak awal tahun 2025. Padahal, Koalisi sejak lama mendorong revisi KUHAP karena sudah tidak relevan.
"Padahal kami juga kritik di awal, kok baru tahun ini? Kalau dari beberapa tahun sebelumnya kan kita punya ruang dan waktu yang lebih banyak untuk berpartisipasi, untuk ngasih masukan," kata Fadhil saat dihubungi Suara.com pada Kamis (27/11/2025).
Setelah Koalisi mengkritik proses pembahasan yang terkesan dikebut, Komisi III DPR RI akhirnya melayangkan undangan audiensi pada Mei 2025.
Namun, dalam audiensi tersebut, Koalisi mengaku tidak dapat memberikan masukan substantif. Penyebabnya, mereka tidak pernah menerima draf resmi revisi KUHAP yang menjadi acuan pembahasan di parlemen.
"Karena kami enggak tahu draf yang dipakai yang mana. Karena yang kami dapat itu yang di bawah meja saja. Bukan draf resmi di website DPR dan lain sebagainya," jelas Fadhil.
Bagi Koalisi, minimnya akses terhadap dokumen resmi menjadi bukti bahwa proses pembahasan kurang transparan.
Tak lama setelah audiensi, beredar kabar bahwa revisi KUHAP akan segera disahkan pada Juli 2025, meski akhirnya urung dilakukan. Pembahasan pun berlanjut melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) hingga Rapat Kerja Panja, sampai akhirnya Panja mengambil keputusan tingkat I. Di momen inilah Koalisi merasa aspirasinya dicatut.
"Di situ tuh yang ada soal pencatutan tuh Mas. Kami enggak dikasih tahu, tapi tiba-tiba disebut, koalisi ngusulin ini, ngusulin itu. Padahal enggak kayak gitu usulan kami gitu ya," tutur Fadhil.
Pasal-Pasal yang Dinilai Bermasalah
Kritik Koalisi berlanjut ke substansi pasal. KUHAP yang baru disahkan dianggap lebih banyak mengatur perluasan wewenang aparat penegak hukum ketimbang memperkuat mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya.
Hal itu, kata Fadhil, tercermin dari Pasal 6 KUHAP baru, yang berbunyi: "Ayat (1) Penyidik terdiri atas: a. Penyidik Polri; b. PPNS; dan c. Penyidik Tertentu. Ayat (2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana..."
Menurut Fadhil, pasal ini menjadikan penyidik Polri superior, karena penyidik dari kalangan PNS (PPNS) hingga penyidik tertentu harus bergerak atas surat perintah dari penyidik Polri.
"Jadi kalau Pak Purbaya (Menkeu) bilang, 'Kami akan tangkap itu penyelundup orang-orang yang melanggar ketentuan pajak, bea cukai,' enggak akan bisa dilakukan tuh tanpa surat perintah dari Penyidik Polri," kata Fadhil.
Kewenangan ini diperparah oleh Pasal 99, yang salah satu ayatnya menyebutkan, "PPNS dan Penyidik Tertentu tidak dapat melakukan Penahanan kecuali atas perintah Penyidik Polri."
Sorotan lainnya tertuju pada aturan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ). Meski sekilas tampak progresif, penerapannya pada tahap penyelidikan dianggap janggal.
Fadhil menjelaskan, pada tahap penyelidikan, suatu perkara belum tentu merupakan tindak pidana. Celah ini dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk praktik korupsi atau pemerasan oleh oknum aparat.
"Ya intinya soal RJ ini kami nilai agak problematik khususnya soal RJ di penyelidikan gitu ya, apa yang mau di-RJ gitu," katanya.
Aturan mengenai penangkapan dan penahanan juga tak luput dari kritik. Koalisi menilai batasan wewenang aparat untuk menangkap seseorang masih abu-abu dan minim kontrol.
Hal serupa juga berlaku untuk kewenangan penahanan. Fadhil menyampaikan, Koalisi mengusulkan adanya Hakim Komisaris untuk mengawasi proses ini, namun usulan tersebut tidak diakomodir.
Terakhir, pasal mengenai penyitaan, pemblokiran, hingga penggeledahan dinilai bermasalah. Misalnya, pada Pasal 140 tentang pemblokiran, ayat (7) menyebutkan, "Dalam keadaan mendesak, Pemblokiran dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri." Fadhil menilai frasa "keadaan mendesak" berpotensi disalahgunakan secara subjektif oleh aparat.
"Betul. Emang harus pakai izin, tapi kalau nanti semua perkara dianggap ya dianggap mendesak, bahaya banget enggak ada yang mengontrol itu gitu. Ya ini kan sangat bahaya," tegasnya.
Aturan penyadapan dalam Pasal 136 juga menjadi sorotan. Ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Namun, kapan undang-undang tersebut akan dibuat? Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang rawan penyalahgunaan.
"Jadi intinya KUHAP ini sudah memberikan wewenang penyadapan Mas, tapi ketentuan teknisnya belum ada," kata Fadhil.
Ancaman di Balik Penerapan yang Terburu-buru
Pemerintah dan DPR telah mengumumkan bahwa KUHAP baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
"Yang jelas bahwa dengan berlakunya KUHP kita di tahun 2026, 2 Januari yang akan datang, sekarang KUHAP-nya juga sudah siap. Jadi otomatis dua hal ini, hukum materil dan formilnya itu dua-duanya sudah siap," kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas usai pengesahan.
Pakar Hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko, menilai masalah krusial dalam KUHAP baru ini adalah partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) belum terpenuhi. Proses pembahasannya dianggap terlalu singkat, dan jadwal pemberlakuannya terlalu terburu-buru.
"Karena ketika sudah didok oleh dewan dan disepakati, disetujui oleh pemerintah, itu dalam waktu yang sangat singkat. Apalagi juga untuk pemberlakuannya juga sangat singkat, yakni sekitar satu bulan setengahan lah menuju 2 Januari 2026," kata Aan.
Menurut Aan, penerapan yang tergesa-gesa ini berisiko membuat aparat penegak hukum—mulai dari polisi, jaksa, hakim, hingga advokat—memaknainya secara parsial. Idealnya, ada waktu minimal satu tahun untuk sosialisasi dan pembelajaran.
"Nah kalau 1 tahun, misalnya 2027, itu pemahaman terhadap hukum acara akan sudah semakin baik," ujarnya.
Jika KUHAP dipaksakan berlaku, aparat hukum bisa kebingungan, dan pada akhirnya masyarakatlah yang akan dirugikan.
Aan menyambung dengan kekhawatiran mengenai jadwal pemberlakuan yang sudah di depan mata. Ia memandang mustahil bagi masyarakat untuk siap menghadapi KUHAP baru pada 2 Januari.
Tanpa pemahaman yang memadai, masyarakat yang menjadi subjek utama hukum justru berada dalam posisi paling rentan. "Ketidakpahaman ini," tegasnya, "akan sangat berbahaya dan melahirkan penegakan hukum yang jauh dari kata adil."
Seruan Pembatan Melalui Perppu
Menyikapi berbagai persoalan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil sikap tegas dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Tujuannya adalah untuk membatalkan KUHAP baru dan mengulang proses pembahasan dengan partisipasi publik yang lebih baik dan substantif.
"Makanya call kami, tuntutan kami, Presiden harus ambil sikap untuk menerbitkan Perppu," kata Fadhil.
Langkah ini dianggap paling tepat, karena upaya uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap sia-sia.
"Dan kami enggak mau terjebak dengan narasi MK-MK gitu Mas ya, narasi soal 'Bawa ke MK'. Itu kan lagu, lagu lama kaset kusut ya dari dulu," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
-
Hasil Liga Champions: Kalahkan Bayern Muenchen, Arsenal Kokoh di Puncak Klasemen
-
Menkeu Purbaya Diminta Jangan Banyak Omon-omon, Janji Tak Tercapai Bisa Jadi Bumerang
Terkini
-
Kronologi Brutal Legislator DPRD Bekasi Diduga Keroyok Warga di Kafe hingga Retina Korban Rusak
-
Perempuan Jadi Pilar Utama Ketahanan Keluarga ASN, Pesan Penting dari Akhmad Wiyagus
-
TelkomGroup Fokus Lakukan Pemulihan Layanan Infrastruktur Terdampak Bencana di Sumatra Utara - Aceh
-
Provinsi Maluku Mampu Jaga Angka Inflasi Tetap Terkendali, Mendagri Berikan Apresiasi
-
KPK Beberkan 12 Dosa Ira Puspadewi di Kasus ASDP, Meski Dapat Rehabilitasi Prabowo
-
86 Korban Ledakan SMAN 72 Dapat Perlindungan LPSK, Namun Restitusi Tak Berlaku bagi Pelaku Anak
-
Siapa Vara Dwikhandini? Wanita yang Disebut 24 Kali Check In dengan Arya Daru Sebelum Tewas
-
Prarekonstruksi Ungkap Aksi Keji Ayah Tiri Bunuh Alvaro: Dibekap Handuk, Dibuang di Tumpukan Sampah
-
Eks MenpanRB Bongkar Praktik Titipan CPNS Masa Lalu: Banyak, Kebanyakan dari Kalangan Kepala Daerah
-
Banjir Kepung Sumatera, DPR Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional