News / Nasional
Senin, 08 Desember 2025 | 14:57 WIB
Foto udara Sungai Nanggang yang meninggi di kawasan permukiman bekas terdampak banjir bandang di Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Sabtu (6/12/2025). [ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc]
Baca 10 detik
  • Ketua FKBI, Tulus Abadi, mendesak perusahaan mengalihkan dana CSR untuk bantuan darurat korban banjir Sumatera pada Senin (8/12/2025).
  • Penyaluran dana CSR harus murni untuk kemanusiaan, tanpa boleh ada agenda promosi produk atau iklan terselubung.
  • Dianjurkan program pascabencana CSR fokus pada pemulihan ekonomi produktif bagi korban yang kehilangan mata pencaharian.

Suara.com - Di tengah duka mendalam yang menyelimuti para korban bencana banjir dan longsor di Sumatra, seruan keras dilayangkan kepada para raksasa bisnis di tanah air.

Perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didesak untuk segera memprioritaskan dan mengalihkan dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) mereka untuk membantu para penyintas.

Seruan ini datang dari Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, yang menyoroti kondisi darurat dan kebutuhan mendesak para korban di lokasi bencana.

Menurutnya, percepatan pemulihan tidak bisa hanya mengandalkan peran negara yang dinilai belum sepenuhnya optimal dalam memulihkan keadaan secara cepat. Bantuan yang lebih masif dari sektor korporasi menjadi kunci.

"Untuk mengakselerasi pemulihan masyarakat sebagai korban bencana, perlu bantuan yang lebih masif lagi. Sangat mendesak agar program CSR diprioritaskan ke lokasi bencana banjir di Pulau Sumatera, sebagaimana mandat UU Perseroan Terbatas di mana setiap perusahaan harus mengalokasikan sebagian net profit-nya untuk program CSR," kata Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/12/2025).

Namun, dorongan ini datang dengan sebuah catatan krusial dan peringatan yang tak main-main.

Tulus, yang juga seorang pegiat perlindungan konsumen, menegaskan bahwa penyaluran dana CSR harus murni untuk kemanusiaan, tanpa ada agenda tersembunyi untuk mempromosikan produk atau citra perusahaan.

"CSR tersebut harus murni untuk program CSR, tidak boleh ada promosi atau iklan terselubung maupun secara terang-terangan," tegasnya.

Peringatan ini secara spesifik ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang produknya berada dalam pengawasan ketat dan memiliki dampak eksternalitas negatif, seperti industri tembakau atau rokok dan produsen Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Baca Juga: Upaya Pemprov DKI Selamatkan Muara Angke dari Ancaman Banjir Rob

Menurut Tulus, menjadikan penderitaan para korban sebagai panggung untuk beriklan adalah sebuah tindakan yang sama sekali tidak etis dan melukai rasa kemanusiaan.

"Jangan menjadikan para korban bencana sebagai obyek eksploitasi iklan dan promosi produk perusahaannya," imbuhnya.

Lebih jauh, Tulus menyarankan agar alokasi dana CSR tidak hanya berhenti pada bantuan darurat yang bersifat konsumtif seperti pangan, obat-obatan, atau pasokan energi.

Ia mendorong korporasi untuk merancang program CSR yang berorientasi pada kegiatan produktif dan berkelanjutan untuk fase pascabencana.

Mengingat ribuan orang telah kehilangan mata pencaharian utama mereka—mulai dari nelayan yang kapalnya hancur, petani yang lahannya gagal panen, hingga pelaku UMKM yang usahanya luluh lantak—program pemulihan ekonomi menjadi sangat vital.

"Diharapkan program CSR tersebut mampu mengentaskan mereka dari jerat bencana kemanusiaan," pungkasnya.

Load More