News / Nasional
Kamis, 11 Desember 2025 | 13:25 WIB
Klaster kelapa sawit, tambang emas dan industri kertas dinilai turut memperparah banjir Sumatera Utara. Foto: Permukiman warga terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). BPBD Tapanuli Selatan mencatat hingga Sabtu (29/11) sebanyak 43 korban meninggal dunia di wilayahnya akibat banjir bandang pada Selasa (25/11/2025). [Antara]
Baca 10 detik
  • WWF Indonesia menyatakan banjir Sumatra akibat tata kelola lingkungan bermasalah yang terakumulasi belasan tahun.
  • Bencana ini bukan semata kesalahan Menteri Kehutanan saat ini, namun warisan izin masa lalu.
  • Solusi memerlukan pembenahan tata kelola hutan dan penegakan aturan perlindungan sepadan sungai.

Suara.com - WWF Indonesia menilai musibah banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat tidak dibisa disalahkan kepada satu pihak, terutama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.

Sebab akar persoalan jauh lebih kompleks dan tidak bisa ditimpakan hanya kepada pejabat yang baru memimpin sektor kehutanan terkait bencana banjir Sumatra.

CEO WWF Indonesia, Aditya Bayunanda menekankan, bencana ini merupakan hasil dari proses panjang akibat tata kelola lingkungan yang bermasalah selama bertahun-tahun.

Ia menegaskan, kerusakan ekosistem dan lemahnya pengawasan bukanlah persoalan yang muncul secara tiba-tiba.

“Terlihatnya ini sesuatu yang akumulasi ya. Jadi, ini sebetulnya akibat dari pengelolaan yang bertahun-tahun ya, belasan tahun jadi bukan hanya sesaat,” katanya dilansir dari akun resmi WWF Indonesia, Kamis (11/12/2025).

Menurutnya, akar penyebab bencana harus dilihat dari rangkaian kebijakan masa lalu yang memberikan ruang besar bagi eksploitasi kawasan hutan tanpa mitigasi yang memadai.

Aditya menjelaskan, berbagai izin yang dikeluarkan pada periode-periode sebelumnya menjadi bagian dari masalah struktural yang kini menimbulkan dampak besar.

Sehingga, dia menilai, tidak tepat apabila publik hanya menyalahkan menteri yang sedang menjabat.

“Jelas ini bukan kesalahan ataupun sesuatu tanggung jawab yang hanya bisa dibebankan untuk menteri sekarang (Raja Juli Antoni), karena ini akumulasi dari kebijakan ataupun pemberian izin menteri-menteri dahulu juga,” ujar dia.

Baca Juga: Operasi Anak Usaha PT Sago Nauli Plantation Disetop Paksa KLH, Jadi Biang Kerok Banjir Sumatra?

Selain soal perizinan, Aditya menyoroti lemahnya kepatuhan pemegang izin terhadap regulasi perlindungan lingkungan.

Salah satu yang paling krusial ialah aturan mengenai perlindungan sepadan sungai, yang sebenarnya telah dibuat untuk mencegah banjir bandang. Namun, implementasinya di lapangan tidak konsisten.

Dia mencontohkan banyaknya perkebunan dan kegiatan pertambangan yang justru membangun hingga ke bibir sungai.

“Banyak sekali kita lihat perkebunan itu membuat kebunnya itu ya sampai pinggir sungai. Misalnya untuk konteks pertambangan dan sebagainya. Jadi, bahkan bisa dibilang hanya sebagian kecil yang betul-betul menjalankan upaya untuk melindungi sepadan sungainya,” tuturnya.

Menurut WWF Indonesia, jalan keluar dari persoalan ini bukan dengan mencari kambing hitam, melainkan membenahi tata kelola hutan secara menyeluruh, mulai dari audit izin lama, penegakan aturan perlindungan sungai, hingga pengawasan yang lebih kuat.

Untuk diketahui, WWF Indonesia adalah organisasi konservasi independen yang terpercaya yang didirikan berdasarkan pemahaman tentang hubungan yang kompleks antara aktivitas manusia dan alam, dengan fokus pada pencarian solusi yang dapat diterapkan dan memobilisasi aksi dari para pemangku kepentingan dan pendukung.

Load More