News / Nasional
Senin, 22 Desember 2025 | 21:47 WIB
Bagan perkiraan tenaga kerja berdasarkan sektor dan kemampuan WFA. (Grafis: Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Pemerintah mewacanakan penerapan WFA pada 29-31 Desember 2025 untuk mengurangi kepadatan arus mudik Nataru.
  • Kebijakan WFA menawarkan fleksibilitas bagi pegawai tetapi berpotensi merugikan sektor non-digital dan logistik.
  • Wacana ini memicu perdebatan mengenai efektivitas penguraian macet dan tantangan pengawasan produktivitas ASN.

Suara.com - Wacana dari pemerintah soal WFA saat libur Nataru 2026 memicu perdebatan antara potensi keuntungan bagi pegawai dan risiko kerugian bagi dunia usaha

Ritual tahunan itu kembali di depan mata. Menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2026, jutaan perantau di Jakarta dan kota-kota besar lainnya bersiap untuk "eksodus" massal.

Jalan tol menuju luar kota diprediksi akan mengular, sementara stasiun, terminal, dan bandara akan sesak oleh lautan manusia yang rindu pulang ke kampung halaman.

Di tengah potret kemacetan horor yang seolah menjadi takdir tahunan, pemerintah melempar sebuah wacana yang dianggap bisa menjadi solusi, yakni menerapkan kebijakan Work From Anywhere (WFA) pada tanggal-tanggal "terjepit", yakni 29-31 Desember 2025.

Ide ini lahir dari pengamatan sederhana. Tanggal tersebut berada di antara libur Natal (25-26 Desember) dan akhir pekan menjelang Tahun Baru.

"Ada tanggal yang di antara libur," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Secara teori, dengan WFA, para pekerja bisa mudik lebih awal dan bekerja dari kampung halaman, sehingga puncak arus mudik bisa terdistribusi dan tidak menumpuk di satu hari.

Namun, di balik niat baik tersebut, kebijakan ini ibarat pisau bermata dua yang memicu perdebatan. Apakah WFA benar-benar jurus pamungkas pengurai macet, atau justru sebuah kebijakan populis yang salah sasaran?

Memahami Konsep WFA Nataru

Baca Juga: Arus Mudik Nataru, Truk Logistik Dialihkan ke Pelabuhan Ciwandan

Pada dasarnya, WFA adalah evolusi dari Work From Home (WFH) yang populer selama pandemi. Karyawan atau Aparatur Sipil Negara (ASN) diizinkan bekerja dari lokasi manapun, entah itu rumah di kampung atau bahkan vila di kawasan wisata.

Penilaian kinerja tidak lagi berbasis kehadiran fisik, melainkan pada output dan penyelesaian tugas yang terukur.

Kuncinya adalah konektivitas dan akuntabilitas. Pegawai harus tetap siaga dan dapat dihubungi selama jam kerja untuk koordinasi secara daring.

"Jadi, tetap memperhatikan dan mengutamakan keberlangsungan penyelenggaraan tugas pemerintahan," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Rini Widyantini, Senin (22/12/2025).

Angin Segar Vs Potensi Bencana

Bagi sebagian besar pekerja kantoran, terutama ASN non-pelayanan, wacana ini adalah angin segar. Mereka bisa memperpanjang waktu berkualitas bersama keluarga tanpa harus mengorbankan jatah cuti.

Kebijakan ini juga dianggap humanis, karena dapat mengurangi tingkat stres akibat perjalanan mudik yang melelahkan untuk liburan yang singkat.

Dari sisi perusahaan, WFA di akhir tahun juga bisa menguntungkan. Biaya operasional kantor dapat ditekan saat intensitas pekerjaan fisik cenderung menurun karena banyak mitra bisnis yang juga sudah dalam mode liburan.

Namun, optimisme ini tidak dirasakan oleh semua pihak. Kalangan pengusaha, khususnya yang bergerak di sektor non-digital, melihat potensi masalah serius.

"Kalau yang di pabrik, ya nggak mungkin," ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani.

Sektor manufaktur, logistik, dan ritel jelas tidak bisa menerapkan WFA, katanya.

Bahkan untuk sektor yang bisa WFA, pengamat transportasi Djoko Setijowarno meragukan efektivitasnya dalam mengurai kemacetan.

Menurutnya, masalah utama kemacetan di Indonesia adalah kultur kendaraan pribadi. WFA mungkin hanya akan memindahkan hari kemacetan, bukan menghilangkannya.

"Pariwisata kita itu cenderungnya di orang naik kendaraan pribadi, bukan menggunakan angkutan umum," ujar Djoko kepada Suara.com, Senin (22/12/2025).

Jika semua orang WFA dari Puncak atau Lembang, maka kemacetan parah tetap akan terjadi di sana setiap hari.

Lebih jauh, kebijakan ini bisa menjadi mimpi buruk bagi pengusaha transportasi barang. Arus logistik bisa terhambat, padahal cicilan kendaraan harus terus berjalan.

"Kayak pengusaha angkutan barang itu, rugi mereka. Mereka kan angsuran mobilnya bayar setahun 12 kali. Dengan kayak gini, tetep bayar 12 kali, pemasukan bisa nggak ada," terang Djoko.

Tantangan Klasik

Kritik tajam juga datang dari sisi kebijakan publik. Pelayanan esensial seperti administrasi kependudukan, rumah sakit, pemadam kebakaran, dan kepolisian tidak mungkin ditinggal.

"Nggak bisa diwakilkan dengan WFA kalau yang seperti itu," kata Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung.

Artinya, kebijakan ini hanya akan dinikmati oleh segelintir pekerja.

"Yang di pelayanan publik kan harus tetap optimal," jelas pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah.

Masalah klasik lainnya adalah pengawasan. Ada kekhawatiran besar bahwa fleksibilitas WFA akan disalahgunakan menjadi liburan terselubung, terutama di kalangan ASN. Produktivitas yang diharapkan terjaga justru bisa anjlok total.

"ASN-ASN kita itu nggak banyak yang orangnya komitmen," kata Trubus kepada Suara.com, Senin (22/12/2025).

Oleh karena itu, jika kebijakan ini tetap akan diterapkan, sistem pengawasan yang ketat menjadi harga mati.

Perlu ada mekanisme pelaporan harian yang jelas dan target kinerja yang terukur untuk memastikan WFA tidak sekadar menjadi justifikasi untuk mangkir dari tanggung jawab.

"Jadi meskipun dikasih WFA, bukan berarti dia seenaknya sendiri," tandas Trubus.

Load More