- Tanah Indonesia subur, namun 56% petaninya adalah petani gurem.
- 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% aset produktif, termasuk tanah.
- Reforma agraria sejati dan penataan ulang kepemilikan lahan menjadi kunci.
Suara.com - INDONESIA dikenal sebagai negara agraris dengan tanahnya yang subur, di mana tongkat kayu dan batu konon bisa jadi tanaman. Potensi agraria yang besar ini seharusnya menjadi sumber kemakmuran.
Ironinya, petani sebagai penggarap utama tanah dengan harapan menjadi Penyangga Tatanan Negara Indonesia, justru menjadi kelompok masyarakat yang paling sering hidup dalam kemiskinan.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut 'kutukan tanah subur', yakni ketika kemiskinan, kesengsaraan lahir di tengah kekayaan agraria yang kaya dan subur, lebih miris petani yang seharusnya paling diuntungkan, justeru menjadi korban utama.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan ada 16,89 juta rumah tangga petani gurem, yaitu petani atau keluarga yang mengusahakan lahan pertanian di bawah 0,5 hektare atau sekitar 56% dari total rumah tangga petani. Dengan luas itu, hampir mustahil, keluarga petani dapat menopang kehidupan layak.
Survei Sakernas BPS 2022 juga mencatat 56,5% pekerja pertanian masuk kategori rentan miskin karena penghasilan mereka di bawah upah layak. Padahal, sektor ini menyerap hampir 29% tenaga kerja nasional.
Ironi ini membuat kita harus bertanya: bagaimana mungkin mereka yang memberi makan bangsa ini justru paling sering tidur dengan perut kosong?
Akar dari 'Kutukan'
Banyak analisis menyebutkan bahwa akar persoalan utama adalah ketimpangan struktur agraria. Laporan Bank Dunia (2020) menunjukkan 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 50% aset produktif, termasuk tanah.
Data CELIOS (2024) menambahkan, 10% rumah tangga terkaya menguasai 77% lahan pertanian, sementara mayoritas petani kecil hanya memiliki sebidang sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali.
Baca Juga: Aksi KPA Panaskan Depan DPR, Desak Reforma Agraria dan Bekukan Bank Tanah
Amanat reforma agraria dalam UUPA No. 5/1960 pun tak pernah benar-benar dijalankan karena ketiadaan kemauan politik. Di samping ketimpangan tersebut, berbagai kebijakan pemerintah juga kerap bias pada kepentingan investasi besar.
Alih-alih memperkuat petani, kebijakan lebih sering berpihak pada korporasi maupun modal asing, sehingga petani justru terjebak menjadi 'buruh di tanah sendiri' dengan posisi tawar yang lemah dalam rantai pasok.
Masalah lain terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang stagnan. Pada 2023, NTP tercatat 104,25 (BPS), hampir tidak bergerak selama satu dekade.
Kondisi ini mencerminkan bahwa meski harga komoditas naik, biaya produksi dan kebutuhan hidup meningkat lebih cepat, sehingga kesejahteraan petani tak kunjung membaik.
Lebih jauh, struktur ekonomi nasional pun menunjukkan ketimpangan. Menurut CELIOS (2024), sektor pertanian menyerap hampir 30% tenaga kerja, tetapi hanya menyumbang 12% terhadap PDB nasional.
Dengan kata lain, peran petani begitu besar dalam menopang tenaga kerja, tetapi kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi relatif kecil—sebuah potret nyata marginalisasi sektor pertanian.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
Daya Beli Lesu Hantam Industri Elektronik, Jurus 'Inovasi Hemat Energi' Jadi Andalan
-
Soeharto: Pahlawan dari Luka yang Belum Pulih
-
Menimbang Arah Baru Partai Berbasis Islam, Dari Ideologi ke Pragmatisme Kekuasaan
-
Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda
-
Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?
-
Quo Vadis Komite Otsus Papua?
-
Konsolidasi, Ambisi, dan Ketegangan: Menilai Tahun Pertama Prabowo-Gibran
-
Catatan Setahun Prabowo-Gibran di Bidang Pangan
-
Green Democracy, Menkeu Baru dan Arah Ekonomi
-
Prabowo dan Fenomena 'Strongman': Refleksi Citra Kepemimpinan di Panggung Global dan Domestik