Jum'at, 03 Oktober 2025 | 14:59 WIB
Ilustrasi Hari Tani 2025. Peringatan Hari Tani Nasional di depan Gedung DPR Jakarta diwarnai aksi simbolik perjuangan petani. (Suara.com/Faqih Fathurra)
Baca 10 detik
  • Tanah Indonesia subur, namun 56% petaninya adalah petani gurem.
  • 1% orang terkaya menguasai lebih dari 50% aset produktif, termasuk tanah.
  • Reforma agraria sejati dan penataan ulang kepemilikan lahan menjadi kunci.

Dampak Sosial dan Ekologis

Fenomena 'tanah subur, petani sengsara' bukan sekadar data, tapi juga tragedi sosial. Konsorsium Pembaruan Agraria (2022) mencatat 212 konflik agraria terjadi dalam satu tahun, sebagian besar terkait alih fungsi lahan subur menjadi perkebunan skala besar, tambang, atau kawasan industri.

Petani kecil sering kalah dalam perebutan tanah dengan korporasi besar yang didukung regulasi maupun kekuasaan politik.

Secara ekologis, kesuburan tanah pun makin terancam. Pola pertanian yang bergantung pada pupuk kimia, pestisida, dan ekspansi lahan besar-besaran telah mempercepat degradasi tanah. Alih-alih diwariskan subur, generasi mendatang justru menghadapi tanah yang kian rapuh.

Petani sedang menanam padi memanfaatkan air di sawah tadah hujan. [Suara.com/Chandra]

Jalan Keluar dari Kutukan

Keluar dari kutukan tanah subur menuntut kemauan politik yang nyata, bukan sekadar retorika.

Langkah pertama yang mendesak adalah menjalankan reforma agraria sejati. Program sertifikasi tanah tidaklah cukup; yang dibutuhkan adalah redistribusi lahan yang adil serta penataan ulang kepemilikan, agar petani penggarap ditempatkan sebagai subjek utama.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi petani harus diperkuat melalui akses modal murah, teknologi ramah lingkungan, dan koperasi modern berbasis digital. Pengalaman koperasi pangan di Eropa bisa menjadi inspirasi untuk memperkuat posisi tawar petani dalam rantai pasok global.

Tidak kalah penting, negara harus memastikan adanya perlindungan harga dan nilai tukar petani. Instrumen stabilisasi harga, misalnya buffer stock atau kebijakan pembelian hasil panen dengan harga wajar, akan menjadi perisai ketika harga jatuh di musim panen raya.

Baca Juga: Aksi KPA Panaskan Depan DPR, Desak Reforma Agraria dan Bekukan Bank Tanah

Semua itu hanya akan berhasil jika disertai dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel. Tanpa transparansi, tanah subur akan terus menjadi ladang rente politik dan bisnis, sementara petani tetap tidak merasakan hasil dari kerja keras mereka.

Kemisikinan yang dialami petani bukanlah kutukan alam, melainkan akibat dari struktur ekonomi-politik yang timpang.

Petani tetap miskin bukan karena tanah tidak memberi, melainkan karena mereka dimiskinkan oleh kebijakan yang tidak berpihak, distribusi lahan yang timpang, dan pasar yang tidak adil.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka ketahanan pangan nasional akan berdiri di atas fondasi yang rapuh. Bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa berdaulat pangan bila para petani sebagai ujung tombaknya justru hidup nestapa?

Saatnya negeri ini memilih jalan lain: membebaskan petani dari kutukan tanah subur, dan menjadikannya subur tidak hanya untuk tanaman, tapi juga untuk keadilan dan kesejahteraan manusia.

Usep Saepul Ahyar

Peneliti Senior Populi Center

Load More