-
Kehadiran Prabowo bersama strongman global menegaskan citra pemimpin kuat, memicu diskusi tentang gaya kepemimpinannya.
-
Gaya strongman resonan di Indonesia, namun berisiko melemahkan demokrasi dan inklusivitas politik.
-
Prabowo dihadapkan pada pilihan: strongman otoriter atau pemimpin kuat yang mendengarkan dan kolaboratif.
Suara.com - Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di peringatan 80 tahun Kemenangan Rakyat Tiongkok bersama Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un bukan sekadar diplomasi.
Ia juga mencerminkan bagaimana Prabowo ingin dilihat—sebagai pemimpin kuat di tengah arus global yang menyanjung figur “strongman”.
Publik tentu masih mengingat momen Prabowo berdiri sejajar dengan Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un di Beijing awal September lalu.
Foto yang tersebar luas itu menimbulkan perbincangan: mengapa Prabowo hadir di tengah para pemimpin dunia yang dikenal dengan gaya keras dan otoriter?
Apakah ia sekadar berperan sebagai kepala negara dalam diplomasi global, atau sedang mengokohkan citra kepemimpinan “kuat” di mata publik?
Dalam politik, simbol sering lebih berbicara daripada kata-kata. Prabowo tak hanya menunjukkan kedekatan diplomatik dengan negara-negara kuat, tetapi juga menegaskan dirinya sebagai figur berwibawa di panggung global.
Namun, ada lapisan makna lain: kehadirannya di antara para strongman mengingatkan publik pada gaya kepemimpinan yang menonjolkan kekuatan, kedisiplinan, dan kontrol—ciri khas pemimpin militeristik yang karismatik namun hierarkis.
Jurnalis Gideon Rachman dalam The Age of the Strongman (2022) menyebut pemimpin semacam itu biasanya mengandalkan nasionalisme dan loyalitas personal.
Mereka tampil sebagai pelindung rakyat, namun sering kali mengaburkan batas antara otoritas dan demokrasi.
Baca Juga: Prabowo Siap Kerahkan 20 Ribu Pasukan Perdamaian ke Gaza, MPR Beri Respons Begini
Kepemimpinan Kuat dan Ujian Demokrasi
Gaya ini mudah diterima di masyarakat Indonesia yang masih lekat dengan budaya patriarkal.
Dalam survei Populi Center (Juni 2023), 70,8 persen responden masih meyakini laki-laki lebih mampu memimpin dibanding perempuan.
Artinya, narasi kepemimpinan berbasis maskulinitas—kuat, tegas, penyelamat—masih menjadi ideal yang disukai publik.
Sejak lama, Prabowo memelihara citra serupa. Retorikanya tentang 'bangkitnya bangsa' dan 'menegakkan kehormatan nasional' berpadu dengan simbol-simbol militer: seragam safari, gestur tegap, dan gaya komunikasi yang penuh energi.
Namun gaya ini, jika tidak diimbangi keterbukaan dan partisipasi, berisiko memperkuat pola kepemimpinan top-down yang militeristik dan minim ruang kritik.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Belajar dari Tragedi Bulan Madu Berujung Maut, Kenali 6 Penyebab Water Heater Rusak dan Bocor
- Penampakan Rumah Denada yang Mau Dijual, Lokasi Strategis tapi Kondisinya Jadi Perbincangan
- Prabowo Disebut Ogah Pasang Badan untuk Jokowi Soal Ijazah Palsu, Benarkah?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Ketiga 13-19 Oktober 2025
- Reaksi Kocak Amanda Manopo Ditanya Malam Pertama Usai Menikah: Kita Coba Hari Ini
Pilihan
-
Proyek Rp65 Triliun Aguan Mendadak Kehilangan Status Strategis, Saham PANI Anjlok 1.100 Poin
-
Pundit Belanda: Patrick Kluivert, Alex Pastoor Cs Gagal Total
-
Tekstil RI Suram, Pengusaha Minta Tolong ke Menkeu Purbaya
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?