- Peningkatan ekspresi Islam publik pasca Orde Baru berbanding terbalik dengan stagnasi suara partai politik Islam sekitar 30 persen.
- Kegagalan PPP masuk parlemen 2024 diakibatkan oleh buruknya pelembagaan partai, termasuk masalah dualisme kepemimpinan yang muncul.
- Masa depan PPP bergantung pada konsolidasi internal, perbaikan kaderisasi, serta artikulasi kepentingan untuk menguatkan basis konstituen.
Suara.com - Di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, ada gejala sosial pasca kejatuhan rezim Orde Baru.
Greg Fealy dan White pada catatan pendahuluan dalam buku Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) menyebut bahwa ekspresi keberislaman di ruang publik meningkat secara tajam.
Namun uniknya, hal itu justru tidak berbanding lurus dengan perolehan suara yang didapat oleh partai politik Islam.
Dalam beberapa pemilu ke belakang, suara total parpol Islam relatif stagnan di kiasaran 30 persen.
Puncaknya adalah kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk parlemen pada 2024, sehingga parpol Islam yang berlaga di parlemen semakin berkurang.
Dalam kasus PPP, salah satu faktor terbesar mengapa perolehan suara mereka terus menurun adalah karena tingkat pelembagaan parpol yang terbilang buruk.
Padahal, pelembagaan dalam konteks partai politik sejatinya diperlukan, baik dalam konteks pertarungan elektoral secara khususnya maupun pembangunan politik secara umumnya.
Buruknya pelembagaan PPP tersebut tercemin dari ramainya masalah dualisme kepemimpinan yang sempat menghiasi pemberitaan di ruang publik, yang sebetulnya masalah dualisme tersebut hanyalah suatu puncak dari gunung es.
Maka menjadi perbincangan menarik untuk menakar masa depan PPP pasca dualisme kepemimpinan tersebut.
Baca Juga: Konsolidasi PPP: Mardiono dan Din Syamsuddin Bahas Kebangkitan Politik Islam untuk Persiapan 2029
Dualisme Kepemimpinan, 'Puncak Gunung Es?'
Dalam Muktamar PPP yang berlangsung pada 27 September 2025 terdapat dua kubu yang saling klaim memenangkan pertarungan untuk menduduki kursi sebagai Ketua Umum PPP, yakni kubu Mardiono dan Agus Suparmanto.
Adanya dua kubu yang saling klaim tersebut, dalam hemat saya, hanyalah suatu 'puncak gunung es'. Akar masalahnya ada pada tingkat pelembagaan partai yang sangat lemah.
Secara teoretis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Vicky Randall dan Lars Svasand dalam Party Institutionalization in New Democracies (2002). Dia menyebut bahwa pelembagaan partai yang kuat salah satunya mensyaratkan kemampuan partai politik di dalam mengelola faksionalisme.
Kemampuan dalam mengelola faksionalisme akan berpengaruh terhadap stabilitas dari suatu partai politik.
Implikasi dari stabilnya partai politik, yakni mereka bisa memaksimalkan potensi dan kekuataan mereka agar terfokus untuk mewujudkan tujuan-tujuan partai, termasuk dalam konteks pemenangan elektoral maupun pembangunan politik secara umumnya.
Sementara dalam kasus PPP, nampak jelas bagaimana faksionalisme yang gagal dikelola dengan baik dan bisa kita baca sejak lama.
PPP sebelumnya pernah mengalami dualisme, dan pada tahun 2024 sebelum pemilu dimulai terjadi pergantian kepemimpinan partai yang mengindikasikan faksionalisme yang menajam.
Adanya faksionalisme yang menguat jelas mengganggu mesin partai dalam pemenangan elektoral, dan ini berandil besar terhadap kegagalan PPP melewati ambang batas parlemen untuk kali pertama.
Alih-alih belajar pada sejarah mereka sendiri, elite PPP justru mengedepankan ego-faksi dibanding kepentingan secara kelembagaan.
Pertanyaan besarnya, jika pada 2024 saja faksionalisme belum sampai pada dualisme, namun sangat mengganggu mesin partai? Apalagi yang kini konflik tersebut sudah menghasilkan dualisme?
Kemampuan dalam mengelola faksionalisme akan berpengaruh terhadap stabilitas dari suatu partai politik.
Masa Depan PPP
Faksionalisme yang menajam dalam suatu partai politik jelas akan menghambat proses pelembagaan dalam internalnya, baik dalam pengambilan keputusan hingga menguatkan bahkan memperluas basis konstituennya.
Alih-alih terfokus pada agenda-agenda pemenangan, mengamplikasi isu strategis guna menguatkan basis konstituen dan bahkan memperluasnya, suatu parpol akan lebih disibukkan pada konflik internal.
Dalam kasus PPP, walaupun sudah ada putusan mengenai ketua umum yang sahnya, tetapi ini tidak menjadi jaminan ke depan bahwa faksionalisme dalam partai akan mampu di atasi.
Sebab itu, dalam agenda jangka pendeknya terutama menghadapi kontestasi 2029, kepemimpinan partai saat ini harus secara serius mengonsolidasikan internalnya.
Elite-elite PPP pun perlu menyadari, bahwa jika mereka ingin partai ini tetap eksis dalam panggung politik nasional dan kehadirannya lebih substantif, maka mereka harus mengedepankan kepentingan partai secara kelembagaan.
Ada banyak 'pekerjaan rumah' bagi partai berlambang kakbah ini, dalam konteks jangka panjang, mereka jelas perlu memperkuat proses kaderisasi kepartaian, mengingat kelemahan PPP saat ini adalah kurang memiliki figur-figur yang populer dan mengakar di masyarakat.
Padahal, kehadiran figur atau tokoh dalam suatu partai politik di Indonesia akan menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat yang bisa memengaruhi preferensi politik mereka.
Survei Litbang Kompas pada Juni 2022 misalnya yang menyebut bahwa 27 persen masyarakat memilih partai politik karena tertarik pada figur, dan 13,5 persen pada program kerja.
Lemahnya figur di PPP, kemungkinan besar sudah menjadi evaluasi mereka. Alasan itu yang menjadi penyebab mereka merekrut tokoh eksternal populer seperti Sandiaga Uno untuk menjadi kader partai.
Namun, kehadiran tokoh eksternal dampaknya tidak terlihat dalam hal elektoral.
Lantaran itu, PPP dituntut perlu lebih serius untuk berupaya melahirkan kader-kader yang betul-betul mengakar di masyarakat.
Tak hanya itu PPP juga memikul tugas berat lain, yakni mengartikulasikan kepentingan basis masa tradisionalnya sekaligus memperluas basis konstituennya dengan memainkan isu-isu yang lebih inklusif dan sejalan dengan tantangan masyarakat hari ini.
Bagaimanapun juga faktor ketokohan sekaligus program kerja menjadi faktor penting yang menentukan preferensi memilih masyarakat terhadap partai politik.
Namun sekali lagi, agenda-agenda tersebut akan sulit dilakukan jika konsolidasi internal mereka tidak berjalan secara maksimal.
Jika konsolidasi gagal dilakukan secara meyakinkan, dan pada sisi lain perbaikan juga tidak dilakukan secara serius, maka akan menjadi suatu tragic comedy dalam perpolitikan Indonesia, bahwa ada partai tua yang eksis sejak Orde Baru dan berlanjut hingga reformasi, namun pada akhirnya lapuk dimakan sejarah.
Cusdiawan
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang & Member International Political Science Association
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Sepatu Skechers Diskon hingga 50% di Sports Station, Mulai Rp300 Ribuan!
- Cek Fakta: Jokowi Resmikan Bandara IMIP Morowali?
- Ramalan Shio Besok 29 November 2025, Siapa yang Paling Hoki di Akhir Pekan?
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70 Persen di Foot Locker
- 3 Rekomendasi Sepatu Lari Hoka Terbaik Diskon 70 Persen di Foot Locker
Pilihan
-
Jejak Sunyi Menjaga Tradisi: Napas Panjang Para Perajin Blangkon di Godean Sleman
-
Sambut Ide Pramono, LRT Jakarta Bahas Wacana Penyambungan Rel ke PIK
-
Penjarahan Beras di Gudang Bulog Sumut, Ini Alasan Mengejutkan dari Pengamat
-
Kids Dash BSB Night Run 2025 Jadi Ruang Ramah untuk Semua Anak: Kisah Zeeshan Bikin Terharu
-
Profil John Herdman, Pesaing Van Bronckhorst, Calon Pelatih Timnas Indonesia
Terkini
-
Teori 'Menumpang Hidup' dan Alasan Mengapa Profesi Polisi Tetap 'Seksi'
-
Menolak Pasien Adalah Pelanggaran Kemanusian dan Hak Asasi Pasien
-
Inovasi Urban Farming Keluarga, Agar Peternak Kecil Tidak Tergilas 'Oligarki Ayam'
-
Daya Beli Lesu Hantam Industri Elektronik, Jurus 'Inovasi Hemat Energi' Jadi Andalan
-
Soeharto: Pahlawan dari Luka yang Belum Pulih
-
Menimbang Arah Baru Partai Berbasis Islam, Dari Ideologi ke Pragmatisme Kekuasaan
-
Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda
-
Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?
-
Quo Vadis Komite Otsus Papua?
-
Konsolidasi, Ambisi, dan Ketegangan: Menilai Tahun Pertama Prabowo-Gibran