Kamis, 11 Desember 2025 | 16:32 WIB
Rabiatul Adwiyah, Dosen Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung (FEB Unisba). [Suara.com]
Baca 10 detik
  • Bencana di Aceh dan Sumatera mengganggu distribusi, produksi, dan daya beli, menjadikannya isu strategis manajemen bisnis.
  • Ketergantungan pasokan antarwilayah dan 43% jalur logistik rawan bencana menunjukkan kerapuhan struktural rantai pasok nasional.
  • Ketahanan rantai pasok harus beralih dari efisiensi biaya menuju resiliensi melalui strategi diversifikasi dan inventori cadangan.

Suara.com - Indonesia kembali diuji dengan rangkaian bencana alam yang terjadi di Aceh dan Sumatera.

Selain menimbulkan duka kemanusiaan, bencana tersebut turut menghambat aliran distribusi barang, mengganggu kegiatan produksi, meningkatkan biaya logistik, dan menekan daya beli masyarakat.

Situasi ini menunjukkan bahwa bencana alam bukan hanya urusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan lembaga kemanusiaan, tetapi juga isu strategis dalam manajemen bisnis—khususnya ketangguhan rantai pasok.

Selama ini, pembahasan tentang gangguan rantai pasok di tingkat global sering berpusat pada perang dagang, geopolitik, pandemi, dan fluktuasi ekonomi dunia.

Namun, bencana Aceh dan Sumatera memperlihatkan bahwa gangguan domestik pun memiliki dampak serupa atau bahkan lebih besar.

Ketergantungan pasokan bahan baku yang tinggi antarwilayah membuat perekonomian Indonesia sangat sensitif terhadap kerusakan infrastruktur, akses jalan, pelabuhan, listrik, dan jaringan komunikasi akibat bencana.

Laporan National Logistics System Review (Kemenko Perekonomian, 2024) menemukan bahwa 43% jalur logistik domestik berada pada wilayah rawan bencana.

Sementara itu, organisasi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC, 2023) menyebut bahwa negara-negara kepulauan seperti Indonesia memiliki tingkat risiko supply chain disruption 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan negara kontinental.

Ini berarti gangguan rantai pasok akibat bencana alam bukan kejadian kebetulan, tetapi ancaman berulang yang memerlukan kesiapan struktural.

Baca Juga: Bobby Nasution Jelaskan Tidak Ada Pemangkasan Anggaran Bencana Ratusan Miliar

Dampak Berantai: Dari Transportasi hingga Daya Beli

Ketika bencana melumpuhkan jalur transportasi utama di Aceh dan Sumatera, dunia usaha langsung merasakan efek domino.

Distribusi logistik terhambat, produk kebutuhan pokok tertahan, dan pelaku industri kesulitan mendapatkan bahan baku untuk melanjutkan proses produksi. Ketika rantai pasok terganggu, grafik ekonomi ikut turun.

Gangguan tidak terjadi secara tunggal, tetapi berlapis:

  1. Produsen tidak mendapat input produksi
  2. Distributor & retailer kekurangan stok
  3. Konsumen menghadapi kelangkaan dan kenaikan harga
  4. Pemerintah daerah sulit mengendalikan inflasi pangan dan obat-obatan
  5. UMKM yang modalnya terbatas paling cepat terpukul

Hal yang sering tidak disadari adalah bahwa rantai pasok bukan sekadar jalur distribusi barang; ia adalah penghubung kehidupan ekonomi masyarakat.

43% jalur logistik domestik berada pada wilayah rawan bencana.

Ketika akses barang terganggu, masyarakat kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan roda ekonomi ikut melambat.

Kerapuhan Rantai Pasok Indonesia

Bencana Aceh dan Sumatera mengungkap akar permasalahan klasik rantai pasok nasional:

  1. Ketergantungan wilayah tertentu pada pusat produksi di daerah lain
  2. Inventori cadangan minim, terutama di sektor UMKM dan ritel
  3. Terbatasnya rute logistik alternatif untuk keadaan darurat
  4. Lemahnya koordinasi pusat-daerah dalam distribusi kebutuhan mendesak
  5. Minimnya integrasi data logistik yang bisa dipantau secara real time

Gartner (2024) menyebut bahwa ketangguhan rantai pasok saat ini tidak lagi ditentukan oleh efisiensi biaya, tetapi oleh kemampuan organisasi dalam meminimalkan masa henti (downtime) selama krisis.

Dalam konteks Indonesia, tantangan itu diperberat oleh kondisi geografis, cuaca ekstrem, dan kerentanan bencana yang sifatnya struktural.

Konsep Ketahanan Rantai Pasok: Dari Efisiensi Menuju Resiliensi

Selama bertahun-tahun, perusahaan di Indonesia mendorong efisiensi logistik melalui model just-in-time—mengurangi inventori untuk menekan biaya.

Namun, pada kondisi rentan bencana, model ini menjadi bumerang. Banyak pelaku usaha tidak memiliki buffer stock atau rencana pasokan alternatif.

Kendaraan melintas di jalan yang berada di antara lahan pertanian yang rusak akibat terendam banjir dan lumpur banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). [ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/nz]

Di sinilah konsep supply chain resilience menjadi krusial. Resiliensi rantai pasok tidak sekadar memastikan barang tiba tepat waktu, tetapi memastikan aliran barang tetap berjalan di tengah krisis.

Strategi yang relevan untuk kondisi Indonesia antara lain:

  1. Multisourcing: tidak mengandalkan satu daerah atau satu pemasok
  2. Redundansi inventori: cadangan stok strategis untuk daerah rawan bencana
  3. Alternatif jalur logistik: penguatan lintasan darat, laut, dan udara untuk keadaan darurat
  4. Digitalisasi pemantauan logistik: visibilitas stok dan distribusi antarwilayah secara real time
  5. Kemitraan pusat, daerah, swasta dalam respons distribusi pascakrisis

Panduan Asian Development Bank (ADB, 2023) menegaskan bahwa integrasi pemerintah daerah dan pelaku usaha lokal adalah fondasi utama untuk rantai pasok yang tangguh di wilayah rawan bencana.

Peran UMKM: Paling Rapuh, tetapi Paling Penting

UMKM di Aceh dan Sumatera adalah motor ekonomi rumah tangga, namun mereka adalah entitas yang paling rentan terhadap gangguan rantai pasok.

Ketika pasokan bahan baku terputus dan distribusi terhambat, UMKM tidak punya cadangan modal atau stok untuk bertahan lama.

Padahal, kebangkitan ekonomi pascabencana sangat bergantung pada kemampuan UMKM untuk kembali beroperasi.

Program pemulihan logistik berbasis UMKM menjadi hal yang strategis:

  1. Prioritas distribusi bahan baku industri kecil
  2. Subsidi logistik sementara untuk daerah terdampak
  3. Gudang community stock berbasis koperasi dan pesantren
  4. E-commerce pascabencana untuk mempercepat pemasaran produk lokal

Ketangguhan UMKM akan menentukan seberapa cepat masyarakat bangkit setelah bencana.

Ketangguhan Rantai Pasok sebagai Agenda Kebijakan Nasional

Bencana Aceh dan Sumatera seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan bahwa ketahanan rantai pasok adalah bagian dari ketahanan nasional.

Distribusi pangan, energi, obat-obatan, dan logistik kemanusiaan tidak boleh terputus hanya karena bergantung pada satu jalur atau satu pemasok.

Kebangkitan ekonomi pascabencana sangat bergantung pada kemampuan UMKM untuk kembali beroperasi.

Sinergi antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan harus diarahkan pada:

  1. National disaster logistics roadmap
  2. Kurikulum manajemen risiko rantai pasok berbasis kebencanaan
  3. Insentif fiskal bagi perusahaan yang membangun rantai pasok tangguh
  4. Riset dan inovasi teknologi untuk pemetaan risiko dan prediksi bencana

Pada akhirnya, pembangunan ekonomi Indonesia tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga ketahanan.

Penutup

Bencana Aceh dan Sumatera mengingatkan kita bahwa dunia usaha bukan hanya aktor ekonomi, tetapi bagian dari sistem sosial.

Keberlangsungan bisnis dan keberlangsungan hidup masyarakat saling terikat melalui jalur logistik dan aliran barang yang tidak boleh terhenti, bahkan pada masa krisis.

Ketangguhan rantai pasok pada akhirnya adalah ketangguhan masyarakat. Dan ketangguhan masyarakat adalah pondasi untuk ketangguhan bangsa.

Rabiatul Adwiyah
Dosen Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung

Load More