Suara.com - Baru-baru ini, para ilmuwan menemukan komunitas mikroba yang hidup di bawah dasar laut dan mampu bertahan dalam sedimen batuan selama lebih dari 100 juta tahun, dengan asupan nutrisi yang sangat sedikit.
Setelah mencoba menciptakan kondisi lingkungan yang tepat di laboratorium, mikroba purba itu akhirnya keluar dari "hibernasi" untuk melakukan metabolisme dan berkembang biak sekali lagi.
Dilaporkan dalam jurnal Nature Communications, para ilmuwan mendapatkan mikroba ini dengan mengumpulkan sampel sedimen dari 75 meter di bawah dasar laut di Samudera Pasifik Selatan, dengan kedalaman hampir 5.700 meter di bawah permukaan laut.
Seperti ditemukan oleh para ahli, kehidupan mikroba mampu dihidupkan kembali melalui teknik yang disesuaikan di laboratorium. Diinkubasi dengan karbon berlabel isotop dan nitrogen yang mengandung nutrisi, dalam 10 minggu isotop muncul dalam mikroba.
Hal itu menunjukkan bahwa mikroba berada dalam keadaan aktif secara metabolik, dan mampu memberi makan serta membelah.
"Ini adalah mikroba tertua yang dihidupkan kembali dari lingkungan laut. Bahkan setelah 100 juta tahun kelaparan, beberapa mikroba dapat tumbuh, berkembang biak, dan terlibat dalam berbagai aktivitas metabolisme ketika mereka kembali ke permukaan," kata Steven D'Hondt, penulis studi dan profesor oseanografi di Universitas Rhode Island, seperti dikutip dari IFL Science, Rabu (29/7/2020).
Komunitas mikroba ini terperangkap di bawah dasar laut jauh sebelumnya dan terkubur oleh lapisan sedimen yang terdiri dari "salju laut", puing-puing, debu, dan partikel lainnya. Lapisan sedimen yang diteliti ini diendapkan selama 13 hingga 101,5 juta tahun lalu.
Jika sedimen terbentuk dalam kondisi yang tepat, oksigen masih dapat menembus ke kedalaman ini, tetapi hanya sedikit yang dapat bermigrasi, menunjukkan bahwa komunitas mikroba tetap bertahan selama bertahun-tahun.
Sementara lapisan tersebut mengandung oksigen, itu juga memiliki jumlah bahan organik yang sangat terbatas, seperti karbon, dan merupakan lingkungan yang sangat sulit bagi kehidupan.
Baca Juga: Tidak Sakit, Tes Covid-19 Ini Klaim Berikan Hasil Akurat Hanya 45 Menit
Dalam kondisi laboratorium yang diinkubasi, beberapa mikroba merespons dengan cepat, meningkat jumlahnya lebih dari empat kali lipat selama 68 hari masa inkubasi. Bahkan dalam sedimen tertua berusia 101,5 juta tahun, para ahli mengamati mikroba yang menyerap isotop dan meningkatkan jumlah sel.
Sebagian besar mikroba tersebut kemungkinan adalah bakteri aerob, artinya itu adalah bakteri yang membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup dan tumbuh.
Mengingat kelangkaan nutrisi yang jauh ke bawah laut, kemungkinan mikroba ini telah memperlambat "jam tubuh" untuk menjalani kehidupan yang sangat lamban, lengkap dengan metabolisme yang lambat dan kecepatan evolusi yang sangat lambat.
"Kami percaya komunitas mikroba itu telah bertahan di sana selama 100 juta tahun, dengan jumlah generasi yang tidak diketahui. Karena fluks energi yang dihitung untuk mikroba sedimen dasar laut hampir tidak cukup untuk perbaikan molekuler, jumlah generasi bisa sangat rendah," tambah D'Hondt.
Sebelumnya, disebutkan bahwa kehidupan dapat bertahan hidup hanya beberapa meter di bawah dasar laut, yaitu di dekat tepi benua di mana banyak bahan organik dapat ditemukan.
Namun dengan adanya temuan ini menunjukkan bahwa kehidupan di bawah dasar laut jauh lebih beragam dan menakjubkan daripada yang didasari sebelumnya. Dalam sebuah penelitian terpisah yang diterbitkan pada Maret 2020, para ilmuwan bahkan menemukan komunitas mikroba yang hidup sekitar 750 meter di bawah dasar laut.
Berita Terkait
-
Sering Mimpi Buruk? Ilmuwan Ini Bagikan "Cara Mengontrol Mimpi"
-
Sederhana, Begini Cara Uji Masker Buatan Sendiri
-
Pertama, Ilmuwan Temukan Partikel Langka di Bawah Gunung Italia
-
Hasil Penelitian: Hiu di Dekat Terumbu Karang Mulai Berkurang
-
Ilmuwan: Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Tak Siap Hadapi Kuman Luar Angkasa
Terpopuler
- PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
- 5 Rekomendasi Moisturizer Mengandung SPF untuk Usia 40 Tahun, Cegah Flek Hitam dan Penuaan
- Pembangunan Satu Koperasi Merah Putih Butuh Dana Rp 2,5 Miliar, Dari Mana Sumbernya?
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- 3 Pemain Naturalisasi Baru Timnas Indonesia untuk Piala Asia 2027 dan Piala Dunia 2030
Pilihan
-
Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
-
4 HP 5G Paling Murah November 2025, Spek Gahar Mulai dari Rp 2 Jutaan
-
6 HP Snapdragon dengan RAM 8 GB Paling Murah, Lancar untuk Gaming dan Multitasking Intens
-
Harga Emas di Pegadaian Stabil Tinggi Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Kompak Naik
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
Terkini
-
Kronologi 3 Astronot China Terdampar di Luar Angkasa Tanpa Kepastian Balik ke Bumi
-
20 Kode Redeem FC Mobile 9 November 2025, Ungkap Trik Dapatkan 20.000 Gems Gratis
-
28 Kode Redeem FF 9 November 2025, Misi Rahasia Dapatkan Skin Groza FFCS Jangan Terlewat
-
Apple Akhirnya Nyerah, Pilih Bayar Google Rp 16 Triliun per Tahun
-
Honor Siapkan HP 10.000 mAh ala Power Bank Pertama di Dunia
-
Sword of Justice Resmi Rilis ke Indonesia, Game MMORPG Berpadu AI
-
Terobosan Konektivitas: Uji Coba Pertama NR-NTN 5G-Advanced via Satelit LEO OneWeb
-
FujiFilm Rilis instax mini LiPlay+ di Indonesia, Gabungkan Digital dan Instan dengan Kamera Selfie
-
Redmi Note 15 Global Diprediksi Usung Spek Berbeda dengan Versi China
-
Sonic Rumble Resmi Meluncur ke Android, iOS, dan PC via Steam