Suara.com - Laporan ekonomi terbaru Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik menyatakan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia Timur dan Pasifik akan mengalami perlambatan pada tahun ini meskipun diperkirakan kembali pulih tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik akan kembali pulih pada tahun 2015 setelah turun pada tahun 2014 apabila pembuat kebijakan menerapkan sejumlah agenda reformasi dalam bidang ekonomi.
"Asia Timur dan Pasifik memiliki potensi pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih cepat daripada kawasan berkembang lainnya bila pembuat kebijakan menerapkan agenda reformasi yang ambisius, termasuk menghilangkan hambatan untuk investasi domestik, meningkatkan daya saing ekspor, dan mengatur belanja publik secara rasional," kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Axel van Trotsenburg.
Laporan tersebut menyebutkan perekonomian negara berkembang di Asia Timur akan tumbuh 6,9 persen pada tahun 2014 dan 2015. Angka itu turun dari 7,2 persen pada tahun 2013. Sementara itu, di Cina, pertumbuhan akan melambat menjadi 7,4 persen pada tahun 2014 dan 7,2 persen di tahun 2015.
Pertumbuhan Cina menunjukkan adanya tanda-tanda pemulihan karena pemerintah mengusahakan perekonomian yang lebih berkelanjutan dengan kebijakan yang mengatasi kerentanan keuangan dan kendala struktural.
Adapun pertumbuhan negara berkembang di kawasan ini, tanpa Cina, diperkirakan hanya mencapai 4,8 persen pada tahun 2014, kemudian naik menjadi 5,3 persen pada tahun 2015. Kenaikan ini diperkirakan berkat dampak peningkatan ekspor dan kemajuan reformasi ekonomi di berbagai negara besar Asia Tenggara.
Secara keseluruhan, kawasan Asia Timur akan mendapatkan manfaat lebih baik dibandingkan kawasan lain akibat pemulihan ekonomi global. Namun, dampak manfaat ini akan berbeda-beda terhadap berbagai negara, tergantung pada iklim investasi dan kondisi ekspor negara tersebut.
Cina, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja berada dalam posisi baik untuk meningkatkan ekspor mereka karena telah mencerminkan integrasi kuat dalam perekonomian global dan rantai ekonomi regional, yang selama ini menggerakkan perdagangan dunia dalam 20 tahun terakhir.
Laporan menambahkan di Indonesia, yang masih mengandalkan ekspor komoditas, pertumbuhan akan turun menjadi 5,2 persen pada tahun 2014 jika dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 5,8 persen. Hal ini disebabkan turunnya harga komoditas, belanja pemerintah yang lebih rendah daripada perkiraan, dan ekspansi kredit yang lambat. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
-
Statistik Suram Elkan Baggott Sepanjang 2025, Cuma Main 360 Menit
Terkini
-
SIM Mati Bisa Diperpanjang? Ini Syarat Terbaru dan Biayanya
-
LPDB Dorong Koperasi Pondok Pesantren Jadi Mitra Strategis Koperasi Desa Merah Putih
-
Minim Sentimen, IHSG Berakhir Merosot ke Level 8.618 Hari Ini
-
Rundown dan Jadwal Ujian CAT PPPK BGN 2025 18-29 Desember 2025
-
ESDM Mulai Jalankan Proyek Pipa Gas Dusem, Pasok Energi dari Jawa ke Sumatera
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Riset: Banyak Peminjam Pindar Menderita Gunakan Skema Pembayaran Tadpole
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Rupiah Terus-terusan Meloyo, Hari Ini Tembus Rp 16.700
-
Purbaya Umumkan APBN Defisit Rp 560,3 Triliun per November 2025, 2,35% dari PDB