Suara.com - Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Jepang dan Cina pada 22-28 Maret 2015 menghasilkan komitmen bisnis senilai sekitar 71,44 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp933,9 triliun, demikian dikatakan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Sabtu malam (28/3/2015).
"Komitmen itu terdiri dari komitmen dengan pengusaha di Jepang dan komitmen dengan pengusaha di Cina," kata Franky yang turut menemani Presiden dalam kunjungan itu.
Ia mengatakan di Jepang misalnya, komitmen kerja sama business to business yang bisa dihimpun mencapai 5,6 miliar dolar AS.
"Toyota misalnya sudah berkomitmen untuk memperluas investasi 1,6 miliar dolar AS, ditambah Suzuki sebesar satu miliar dolar AS, dan kerja sama business to business lain antara pengusaha Indonesia dan Jepang mencapai tiga miliar dolar AS," katanya.
Dalam kunjungannya di Jepang, Presiden Jokowi menghadiri forum kerja sama bisnis yang dihadiri oleh 1.200 pengusaha dari Jepang. Pada kesempatan itu, Jokowi menawarkan peluang investasi yang bisa digarap investor Jepang di Indonesia sekaligus insentif yang akan diberikan termasuk kemudahan perizinan dan insentif pajak yang menarik bagi investor yang menjadikan Indonesia sebagai basis produksi ekspor.
Sementara di Cina, berhasil dihimpun komitmen kerja sama senilai 68,1 miliar dolar AS ditambah dengan komitmen dalam mata uang yuan sebesar 2,1 miliar RMB atau setara 340 juta dolar AS. Dengan begitu total komitmen bisnis yang dibawa pulang dari Tiongkok mencapai 68,440 miliar dolar AS.
Jadi kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi, kata Franky, mampu menarik terjadinya komitmen hingga mencapai 71,45 miliar dolar AS.
Pada kesempatan itu Presiden Jokowi di hadapan 450 pengusaha Tiongkok memaparkan rencana kerjanya selama lima tahun ke depan setelah sebelumnya bertemu dengan PM Li Keqiang dan sehari sebelumnya dengan Presiden Xi Jinping.
Komitmen dan proyek kerja sama itu sebagian besar di bidang infrastruktur, perikanan dan lain-lain.
Namun, ia mengingatkan soal investment rate kedua negara itu yang harus juga diperhitungkan. Rekam jejak Cina selama ini hanya 1 berbanding 10 sedangkan Jepang 1 berbanding 6,5 yang artinya untuk di Cina dari 10 komitmen hanya 1 yang terealisasi sementara dari Jepang lebih tinggi yakni dari 10 komitmen sebanyak 6,5 terealisasi.
Namun, Franky menekankan pemerintah telah mengupayakan untuk meningkatkan angka investment rate melalui berbagai kebijakan di antaranya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan insentif pajak. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 5 Mobil Bekas yang Perawatannya Mahal, Ada SUV dan MPV
- 5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama
- 5 Mobil SUV Bekas Terbaik di Bawah Rp 100 Juta, Keluarga Nyaman Pergi Jauh
- 13 Promo Makanan Spesial Hari Natal 2025, Banyak Diskon dan Paket Hemat
Pilihan
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
-
Genjot Daya Beli Akhir Tahun, Pemerintah Percepat Penyaluran BLT Kesra untuk 29,9 Juta Keluarga
Terkini
-
Pabrik Chip Semikonduktor TSMC Ikut Terdampak Gempa Magnitudo 7 di Taiwan
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Tahun 2025, Update Terbaru OJK Desember
-
Daftar Bank yang Tutup dan 'Bangkrut' Selama Tahun 2025
-
Pemerintah Kucurkan Bantuan Bencana Sumatra: Korban Banjir Terima Rp8 Juta hingga Hunian Sementara
-
Apa Itu MADAS? Ormas Madura Viral Pasca Kasus Usir Lansia di Surabaya
-
Investasi Semakin Mudah, BRI Hadirkan Fitur Reksa Dana di Super Apps BRImo
-
IPO SUPA Sukses Besar, Grup Emtek Mau Apa Lagi?
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
BUMN Infrastruktur Targetkan Bangun 15 Ribu Huntara untuk Pemulihan Sumatra
-
Menpar Akui Wisatawan Domestik ke Bali Turun saat Nataru 2025, Ini Penyebabnya