Ilustrasi suasana salah satu hotel di Yogyakarta. (Tripadvisor)
Penerapan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di Indonesia pada umumnya dan Yogyakarta khususnya, ternyata berdampak kurang baik secara signifikan pada pekerja perhotelan di Yogyakarta.
Hal itu antara lain seperti diungkapkan Dyah Ambhara, Ketua Umum Serikat Pekerja dari Federasi Serikat Mandiri, yang juga adalah salah satu pekerja hotel di Yogyakarta. Kepada Suara.com, saat dijumpai di sela-sela aktivitasnya, perempuan yang akrab disapa Ara ini mengungkapkan, penerapan kebijakan MEA di Yogyakarta justru semakin memperlemah posisi tawar para pekerja hotel setempat.
"(Soalnya) Statusnya hanya pegawai kontrak atau outsourcing," kata Ara.
Selain itu, Ara menilai bahwa persaingan kerja menjadi lebih ketat. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia akan bersaing dengan pekerja asing, meskipun secara kemampuan dan kualitas kerja tak berbeda jauh.
"Sekarang saja, manajemen hotel di Yogyakarta sudah banyak yang orang asing. Dari dulu itu sudah terjadi. (Dan) Setelah MEA, akan lebih banyak lagi bule-bule njalanin hotel. Bahkan mungkin beberapa hotel penanam modalnya juga dari asing. Kalau Pemda DIY tak segera buat kebijakan, bisa-bisa nanti pekerja hotel di bawah manajemen juga (berasal) dari luar seperti Filipina, Malaysia, yang keahliannya tak jauh beda dengan orang Indonesia," paparnya.
Permasalahan terkait penerapan MEA dan dampaknya bagi pekerja hotel tak hanya sampai di situ. Menurut Ara pula, banyak rekan-rekannya pekerja hotel yang hingga kini masih menjadi pegawai kontrak bahkan outsourcing.
"Bukan hanya soal kesejahteraan, mulai tahun 2000, saat adanya kebijakan kontrak dan outsourcing, kan banyak perusahaan yang tidak mau menjadikan pekerjanya menjadi pegawai tetap. Nah, kasus ini semakin parah saat mulai diterapkan MEA," ujarnya.
"Jika sebelumnya pegawai kontrak masih ada kesempatan jadi pegawai tetap, setelah MEA ini semakin kecil kesempatannya. Apalagi nanti saat pekerja asing mulai masuk. Perusahaan perhotelan kan pasti lebih memilih mengambil karyawan yang mau dibayar lebih rendah dan kemampuannya tak beda jauh dengan kita," tambah Ara.
Ara menambahkan, jika dulu bekerja di hotel itu memiliki prestise dan nilai jual tinggi, bahkan masih bisa bersaing dengan para pekerja di kapal pelayaran atau kapal pesiar, saat ini anggapan tersebut sudah tak berlaku lagi. Kini menurutnya, tak jarang malah di Yogyakarta pekerja hotel berpendapatan di bawah UMK.
Lemahnya posisi tawar para pekerja hotel pun makin berat, sebab menurut Ara, pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta yang tak terbendung, secara otomatis mengakibatkan pula perang tarif antara hotel satu dengan yang lain.
"Dengan MEA ini dan izin pembangunan hotel yang kemarin sebelum moratorium, itu kan gila-gilaan. Akibatnya, perang tarif hotel tak terkendali. Otomatis berdampak pada fee servis serta pendapatan yang diterima pekerja hotel di Jogja. Belum lagi, kebanyakan hotel baru di Jogja pekerjanya kontrak. Jam kerja bisa sampai 10 jam, bahkan lebih, sementara penghasilan tak sesuai," ujarnya.
Ara menambahkan bahwa selain minimnya pendapatan, banyak pula hotel yang tak memberikan asuransi pekerjaan bagi karyawannya, padahal mereka harus bekerja lebih lama dari waktu kerja pada umumnya.
Menurut Ara, peliknya permasalahan yang ada dengan ratusan hotel baru di Jogja, tak terlepas dari kegagapan pemerintah daerah yang dirasa memang belum siap dengan MEA. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya menerapkan kebijakan atau regulasi yang tepat, sebelum Yogyakarta dibanjiri tenaga kerja asing yang akan semakin memperlemah posisi tawar para pekerja hotel.
Ara pun berharap, pemerintah daerah di Yogyakarta dapat belajar dari Bali. Soalnya menurutnya, kendati di Bali penuh dengan hotel, namun para pekerja hotel di sana masih memiliki nilai tawar yang tinggi dan kesejahteraan yang lebih baik.
Selain memperbaiki regulasi dan membuat kebijakan, Pemda pun diminta harus mempererat kerja sama, bukan hanya dengan pengusaha, namun juga dengan pekerja hotel dan pihak-pihak terkait. Ini demi mempublikasikan Yogyakarta secara lebih luas, sehingga kunjungan wisatawan ramai tak hanya saat liburan, serta tak perlu sampai ada perang harga yang meresahkan pekerja perhotelan. [Wita Ayodhyaputri]
Hal itu antara lain seperti diungkapkan Dyah Ambhara, Ketua Umum Serikat Pekerja dari Federasi Serikat Mandiri, yang juga adalah salah satu pekerja hotel di Yogyakarta. Kepada Suara.com, saat dijumpai di sela-sela aktivitasnya, perempuan yang akrab disapa Ara ini mengungkapkan, penerapan kebijakan MEA di Yogyakarta justru semakin memperlemah posisi tawar para pekerja hotel setempat.
"(Soalnya) Statusnya hanya pegawai kontrak atau outsourcing," kata Ara.
Selain itu, Ara menilai bahwa persaingan kerja menjadi lebih ketat. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia akan bersaing dengan pekerja asing, meskipun secara kemampuan dan kualitas kerja tak berbeda jauh.
"Sekarang saja, manajemen hotel di Yogyakarta sudah banyak yang orang asing. Dari dulu itu sudah terjadi. (Dan) Setelah MEA, akan lebih banyak lagi bule-bule njalanin hotel. Bahkan mungkin beberapa hotel penanam modalnya juga dari asing. Kalau Pemda DIY tak segera buat kebijakan, bisa-bisa nanti pekerja hotel di bawah manajemen juga (berasal) dari luar seperti Filipina, Malaysia, yang keahliannya tak jauh beda dengan orang Indonesia," paparnya.
Permasalahan terkait penerapan MEA dan dampaknya bagi pekerja hotel tak hanya sampai di situ. Menurut Ara pula, banyak rekan-rekannya pekerja hotel yang hingga kini masih menjadi pegawai kontrak bahkan outsourcing.
"Bukan hanya soal kesejahteraan, mulai tahun 2000, saat adanya kebijakan kontrak dan outsourcing, kan banyak perusahaan yang tidak mau menjadikan pekerjanya menjadi pegawai tetap. Nah, kasus ini semakin parah saat mulai diterapkan MEA," ujarnya.
"Jika sebelumnya pegawai kontrak masih ada kesempatan jadi pegawai tetap, setelah MEA ini semakin kecil kesempatannya. Apalagi nanti saat pekerja asing mulai masuk. Perusahaan perhotelan kan pasti lebih memilih mengambil karyawan yang mau dibayar lebih rendah dan kemampuannya tak beda jauh dengan kita," tambah Ara.
Ara menambahkan, jika dulu bekerja di hotel itu memiliki prestise dan nilai jual tinggi, bahkan masih bisa bersaing dengan para pekerja di kapal pelayaran atau kapal pesiar, saat ini anggapan tersebut sudah tak berlaku lagi. Kini menurutnya, tak jarang malah di Yogyakarta pekerja hotel berpendapatan di bawah UMK.
Lemahnya posisi tawar para pekerja hotel pun makin berat, sebab menurut Ara, pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta yang tak terbendung, secara otomatis mengakibatkan pula perang tarif antara hotel satu dengan yang lain.
"Dengan MEA ini dan izin pembangunan hotel yang kemarin sebelum moratorium, itu kan gila-gilaan. Akibatnya, perang tarif hotel tak terkendali. Otomatis berdampak pada fee servis serta pendapatan yang diterima pekerja hotel di Jogja. Belum lagi, kebanyakan hotel baru di Jogja pekerjanya kontrak. Jam kerja bisa sampai 10 jam, bahkan lebih, sementara penghasilan tak sesuai," ujarnya.
Ara menambahkan bahwa selain minimnya pendapatan, banyak pula hotel yang tak memberikan asuransi pekerjaan bagi karyawannya, padahal mereka harus bekerja lebih lama dari waktu kerja pada umumnya.
Menurut Ara, peliknya permasalahan yang ada dengan ratusan hotel baru di Jogja, tak terlepas dari kegagapan pemerintah daerah yang dirasa memang belum siap dengan MEA. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya menerapkan kebijakan atau regulasi yang tepat, sebelum Yogyakarta dibanjiri tenaga kerja asing yang akan semakin memperlemah posisi tawar para pekerja hotel.
Ara pun berharap, pemerintah daerah di Yogyakarta dapat belajar dari Bali. Soalnya menurutnya, kendati di Bali penuh dengan hotel, namun para pekerja hotel di sana masih memiliki nilai tawar yang tinggi dan kesejahteraan yang lebih baik.
Selain memperbaiki regulasi dan membuat kebijakan, Pemda pun diminta harus mempererat kerja sama, bukan hanya dengan pengusaha, namun juga dengan pekerja hotel dan pihak-pihak terkait. Ini demi mempublikasikan Yogyakarta secara lebih luas, sehingga kunjungan wisatawan ramai tak hanya saat liburan, serta tak perlu sampai ada perang harga yang meresahkan pekerja perhotelan. [Wita Ayodhyaputri]
Komentar
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Jemput Weekend Seru di Bogor! 4 Destinasi Wisata dan Kuliner Hits yang Wajib Dicoba Gen Z
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
Pilihan
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Profil PT Cakra Buana Resources Energi Tbk (CBRE), Ini Sosok Pemiliknya
-
BRI Ajak Warga Surabaya Temukan Hunian & Kendaraan Impian di Consumer BRI Expo 2025
-
TikTok Dibekukan Komdigi Usai Tolak Serahkan Data Konten Live Streaming Demo
-
Maganghub Kemnaker: Syarat, Jadwal Pendaftaran, Uang Saku dan Sektor Pekerjaan
-
Perusahaan Ini Sulap Lahan Bekas Tambang jadi Sumber Air Bersih
-
2 Hari 2 Kilang Minyak Besar Terbakar Hebat, Ini 5 Faktanya
-
IHSG Tutup Pekan di Zona Hijau: Saham Milik Grup Djarum Masuk Top Losers
-
Maganghub Kemnaker Dapat Gaji Rp 3.000.000 per Bulan? Ini Rinciannya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor