Suara.com - Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas mengatakan dalam kurun waktu 25 tahun, lahan pertanian cuma tambah sekitar 2,96 persen. Sedangkan lahan perkebunan tambah sampai sekitar 144 persen.
“Dari sini kan kelihatan, pemerintah lebih pro dengan siapa. Selama 25 tahun lahan pertanian yang cuma pangan saja ya hanya tumbuh 2,96 persen. Bagaimana kita mau membangun sikap optimisme di sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Lahannya saja nggak ada,” kata Andreas dalam diskusi bertema Managing Economics Slowdown di Jakarta, Selasa (28/7/2015).
Dari tahun ke tahun, lanjut Andreas, kepemilikan lahan oleh petani terus menurun, sebaliknya sengketa lahan terus meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian INDEF, sebanyak 69,8 persen rumah tangga pedesaan di Pulau Jawa pada 1993 merupakan petani gurem yang lahannya di bawah 0,5 hektar. Namun jumlah tersebut meningkat hingga 74,9 persen pada 2003.
Sedangkan di luar Jawa, pada 2003 terjadi peningkatan rumah tangga pedesaan petani gurem sebesar 33,9 persen. Sebelumnya, 1993, hanya sebesar 30,6 persen.
Jumlah petani gurem yang bertambah 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta di 1993 menjadi 13,7 juta di 2003 menunjukkan bahwa sekitar 68,5 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya dari lahan dengan luas kurang dari 0,5 hektar.
“Ini menandakan bahwa hampir setara dengan 35 juta hektar lahan pertanian tidak lagi digunakan secara produktif,” katanya. “Dengan lahan itu, petani tidak dapat memberikan suatu skala yang menguntungkan sebagai suatu unit usaha tani kecuali jenis hortikultura yang bernilai tinggi.”
Bahkan, ketimpangan lahan hampir mencapai dua kali dibandingkan dengan ketimpangan konsumsi dan telah meningkat lebih cepat selama 40 tahun terakhir, terutama di Pulau Jawa.
Oleh sebab itu, pemerintah diimbau jika ingin mencapai swasembada pangan harus membuat kebijakan yang mensejahterakan kehidupan petani. Salah satunya dengan memberikan lahan pertanian yang jelas.
“Swasembada pangan itu dapat tercapai kalau petaninya sejahtera, kalau enggak bagaimana mau swasembada. Selain itu, Nilai Tukar Petani harus dikaji kembali. Jangan terlalu rendah hal tersebut membuat petani lebih memilih menjual gabah kalau rendah bagaimana petani bisa menanam padi lagi, wong modalnya enggak ada,” katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- 17 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 20 September: Klaim Pemain 110-111 dan Jutaan Koin
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Korban Keracunan MBG di Yogyakarta Nyaris 1000 Anak, Sultan Akhirnya Buka Suara
- Momen Thariq Halilintar Gelagapan Ditanya Deddy Corbuzier soal Bisnis
Pilihan
-
Rapor Dean James: Kunci Kemenangan Go Ahead di Derby Lawan PEC Zwolle
-
Nostalgia 90-an: Kisah Tragis Marco Materazzi yang Nyaris Tenggelam di Everton
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan Memori 256 GB Terbaru September 2025
-
Perbandingan Spesifikasi Redmi 15C vs POCO C85, Seberapa Mirip HP 1 Jutaan Ini?
-
Rapor Pemain Buangan Manchester United: Hojlund Cetak Gol, Rashford Brace, Onana Asisst
Terkini
-
India Bebaskan Pajak Bahan Pokok dan Kurangi Gunakan Produk Asing
-
Wirausahawan Muda Bakal Bermunculan Lewat Indonesian Entrepreneur Project
-
Mau Investasi AI, SoftBank Group Pangkas 20 Persen Karyawan
-
Pembiayaan KPR Bank Mega Syariah Raup Rp 334 Miliar
-
IHSG Masih Betah Bergerak di Level 8.000 pada Senin Pagi, Cek Saham yang Melonjak
-
Gelar RUPSLB, Emiten Produsen Gas Industri SBMA Rombak Jajaran Direksi Hingga Diversifikasi Bisnis
-
Gedung Pencakar Langit Paling Tips di Dunia Sewakan Penthouse Seharga Rp 1,8 Triliun
-
Emas Antam Harganya Masih Tinggi Dibanderol Rp 2.123.000 per Gram
-
Kenaikan Harga Bahan Pokok Terus Tinggi, Kelas Menengah Banyak Kesulitan Bayar
-
Melambung Tinggi, Harga Emas Dunia Bakal Dijual Rp2,18 Juta per Gram