Suara.com - Perekonomian Indonesia belum masuk fase krisis, meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah, kata ekonom Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid.
"Namun, kalau pemerintah terlalu percaya diri dan hanya menyalahkan faktor eksternal, bukan tidak mungkin krisis akan terjadi," katanya pada diskusi ekonomi terkini, di Yogyakarta, Jumat (4/9/2015).
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak eksternal dan melakukan koordinasi kebijakan yang lebih baik di dalam negeri untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada.
Misalnya, bagaimana secara detil membuka jalan bagi semua kementerian dan daerah agar bisa menyerap anggaran secara optimal dan membelanjakannya sesuai dengan perencanaan.
"Pemerintah harus mengambil langkah untuk mereduksi dampak ekonomi eksternal yang berpengaruh pada perekonomian nasional. Salah satunya dapat dicapai dengan merevisi program yang boros devisa dan berdampak ganda," katanya.
Ia mengatakan hal itu lebih tepat daripada menyalahkan kebijakan ekonomi negara lain atau memaksa swasta utuk melakukan sesuatu yang tidak dalam kendali pemerintah.
Selain itu, kata dia, situasi sekarang seharusnya dijadikan momentum untuk mempercepat realisasi anggaran belanja infrastruktur. Pembangunan infrastruktur akan menstimulasi perekonomian yang lesu saat ini.
"Dalam jangka panjang hal itu bisa menggenjot pembangunan ekonomi dengan cepat. Namun, pembangunan infrastruktur harus diarahkan ke wilayah yang potensinya masih banyak sehingga bisa mengoptimalkan sumber daya daerah di luar Jawa," katanya.
Jadi, kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu, pembangunan infrastruktur jangan berbasis pada kepadatan penduduk tetapi pada potensi ekonomi sehingga tidak hanya berpusat di Pulau Jawa.
Pakar ekonomi UII Sahabudin Sidiq mengatakan tren pelemahan nilai tukar rupiah salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan mata uang dolar AS di dalam negeri saat ini.
Menurut dia, banyak perusahaan swasta nasional yang dalam jangka pendek harus membayar utang dari luar negeri sehingga mempengaruhi permintaan dolar AS.
Di sisi lain, tingginya ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor juga menjadi masalah tersendiri.
"Industri dalam negeri kita masih bergantung pada sumber daya yang tidak berasal dari negeri sendiri sehingga mereka sangat terhantam ketika terjadi penurunan nilai tukar rupiah," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah juga perlu memikirkan solusi jangka panjang untuk membangun industri bersifat "resources based" material yang dapat diperoleh dari pasokan dalam negeri. (Antara)
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
Jelang Akhir Tahun Realisasi Penyaluran KUR Tembus Rp240 Triliun
-
Jabar Incar PDRB Rp4.000 Triliun dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
-
BRI Insurance Bidik Potensi Pasar yang Belum Tersentuh Asuransi
-
Cara SIG Lindungi Infrastruktur Vital Perusahaan dari Serangan Hacker
-
Dukung Implementasi SEOJK No. 7/SEOJK.05/2025, AdMedika Perkuat Peran Dewan Penasihat Medis
-
Fakta-fakta RPP Demutualisasi BEI yang Disiapkan Kemenkeu
-
Rincian Pajak UMKM dan Penghapusan Batas Waktu Tarif 0,5 Persen
-
Tips Efisiensi Bisnis dengan Switchgear Digital, Tekan OPEX Hingga 30 Persen
-
Indef: Pedagang Thrifting Informal, Lebih Bahaya Kalau Industri Tekstil yang Formal Hancur
-
Permata Bank Targetkan Raup Rp 100 Miliar dari GJAW 2025