Suara.com - Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluhkan sistem pembayaran "letter of credit (LC)" yang mulai banyak digunakan oleh buyer luar negeri. Ini dinilai memberatkan ekspor mebel.
"Penggunaan L/C memberatkan, karena seluruh biaya produksi hingga pengiriman harus ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha atau eksportir," kata Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Endro Wardoyo di Yogyakarta, Sabtu (5/9/2015).
Sistem pembayaran L/C dinilai tidak menguntungkan para pengusaha yang baru merambah pasar ekspor. Sebab dengan sistem pembayaran itu pengusaha akan menerima uang dari buyer luar negeri setelah mengirim barang.
"Tidak ada uang muka (DP) terlebih dahulu. Seluruh beban biaya produksi hingga pengiriman ditanggung oleh pengusaha lokal dulu," kata dia.
Penerapan L/C, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan buyer dari Rusia, meski Eropa serta Amerika Serikat (AS). Dengan adanya kebijakan itu, tidak sedikit pengusaha yang berhenti melakukan ekspor.
"Dulu Rusia merupakan salah satu pasar potensial mebel. Tapi setelah banyak buyer yang menggunakan L/C ekspor ke Rusia menurun," kata dia.
Dengan semakin banyak buyer yang berminat menerapkan L/C sebagai sistem pembayaran produk ekspor. Maka ia mengkhawatirkan menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kegiatan ekspor hanya dikuasai oleh eksportir atau pengusaha besar saja.
"Karena pengusaha besarlah yang mampu membiayai dulu seluruh proses produksi barang ekspor," kata dia.
Sementara itu, ia mengatakan, berkurangnya kegiatan ekspor, juga terpengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang memicu membengkaknya harga bahan baku.
Apalagai, menurut Endro, momentum penguatan dolar AS tidak lagi serta merta dapat dinikmati pengusaha kerajinan atau mebel. Sebab, kondisi pelemahan mata uang itu juga terjadi di negara-negara lain yang juga tujuan pasar ekspor seperti Rusia, Malaysia, Singapura, serta negara-negara Eropa.
"Kami tetap tidak bisa menikmatinya dengan meningkatkan ekspor, karena daya beli di negara-negara tujuan juga melemah terdampak penguatan dolar AS," kata dia. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Cek Fakta: Viral Klaim Pigai soal Papua Biarkan Mereka Merdeka, Benarkah?
-
Ranking FIFA Terbaru: Timnas Indonesia Makin Pepet Malaysia Usai Kena Sanksi
-
Sriwijaya FC Selamat! Hakim Tolak Gugatan PKPU, Asa Bangkit Terbuka
-
Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur
-
Luar Biasa! Jay Idzes Tembus 50 Laga Serie A, 4.478 Menit Bermain dan Minim Cedera
Terkini
-
OJK Rilis Daftar 'Whitelist' Platform Kripto Berizin untuk Keamanan Transaksi
-
Terkendala Longsor, 2.370 Pelanggan PLN di Sumut Belum Bisa Kembali Nikmati Listrik
-
Menperin Minta Jemaah Haji Utamakan Produk Dalam Negeri: Dapat 2 Pahala
-
OJK Sorot Modus Penipuan e-Tilang Palsu
-
Pertamina Rilis Biosolar Performance, BBM Khusus Pabrik
-
UMKM Kini Bisa Buat Laporan Keuangan Berbasis AI
-
Jelang Nataru, Konsumsi Bensin dan LPG Diramal Meningkat, Pertamina Siagakan 1.866 SPBU 24 Jam!
-
Darurat Komunikasi di Aceh: Saat Internet Mati Begitu Listrik Padam, Siapa yang Bertanggung Jawab?
-
Perluas Jangkauan Pelayanan, KB Bank Resmikan Grand Opening KCP Bandung Taman Kopo Indah
-
Distribusi BBM di Sebagian Wilayah Aceh Masih Sulit, Pertamina: Kami Terus Untuk Recovery