Serikat Pekerja (SP) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menolak klausul kebijakan wajib membeli listrik atau take or pay kepada listrik milik Independent Power Producer (IPP). Pasalnya kebijakan ini sangat merugikan PLN dan mengakibatkan harga listrik yang diterima masyarakat akan menjadi semakin mahal.
SP PLN kembali mengingatkan klausul take or pay yang merugikan PLN sehingga menyebabkan harga listrik Indonesia menjadi lebih mahal. Hal itu disampai pada wartawan di kawasan Menteng Jakarta ketika bersilahturahmi dengan wartawan media nasional beberapa waktu lalu.
"Kita mendesak Pemerintah dan Direksi PLN agar segera mengevaluasi klausul ini di PPA antara PLN dengan Listrik Swasta. Apalagi harga listrik di Indonesia saat ini cukup mahal dibandingkan negara lain". "Presiden pun mengeluh dengan harga listrik Indonesia yang mahal ini. Yang ditenggarai oleh Presiden sebagai perbuatan calo", ungkap Ketua Umum SP PLN Jumadis Abda, dalam keterangan resmi, Minggu (8/1/2017).
Soalnya, kata Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, setiap komponen biaya listrik dibebankan kepada harga jual listrik ke masyarakat. Selain itu dikhawatirkan terjadinya pemadaman listrik karena dominasi swasta seperti yang terjadi di Nias.
Salah satu kerugian PLN akibat adanya listrik swasta itu adalah PLTU Bukit Asam (4x65 MW), Sumsel, yang sejak 29 November 2016 lalu harus dimatikan (shut down) dan diturun bebannya. Akibatnya PLN mengalami kerugian miliaran rupiah.
"Untuk mencegah kerugian yang semakin besar, kami meminta direksi PLN untuk menghilangkan atau membatalkan klausul take or pay dalam setiap perjanjian jual beli listrik dengan pihak swasta. Hanya pembangkit yang lebih andal dan murahlah yang terlebih dahulu mendapat prioritas untuk dioperasikan dan masuk sistem sesuai dengan merit order yang optimal", kata Jumadis.
Menurutnya, sejak IPP China Sumsel 5 mulai beroperasi pada 29 November 2016 yang lalu, terjadi kelebihan pasokan pembangkit pada sistem Sumsel. Akibatnya PLTU Bukit Asam yang lebih murah biaya operasinya harus di stop (shutdown) dan sebagian diturunkan bebannya.
Masuknya pembangkit swasta melalui Power Purchase Agreement (PPA), menurut SP PLN, kalau mau berpartisipasi maksimal hanya 20% dari total pembangkit yang dioperasikan sehingga keandalan dan efisiensi sistem kelistrikan dapat optimal.
Bahkan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 2, kelistrikan termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus tetap dikuasai oleh negara mulai dari hulu di pembangkit sampai sisi hilir di distribusinya. Sehingga tidak boleh sektor kelistrikan seperti pembangkit diserahkan kepada swasta.
Jumadis memperkirakan, kasus di Sumsel bisa saja terjadi di sistem Jawa-Bali. Sebab dalam RUPTL 2015-2019, akan ada tambahan pembangkit sekitar 19.000 MW dan 14.000 MW itu dibangun dan dipasok oleh pembangkit milik swasta. "Potensi itu termasuk juga bisa terjadi di Jawa-Bali. Pembangkit PLN pada akhirnya digantikan pembangkit swasta," imbuh dia.
SP PLN juga menuntut gas alam diturunkan harganya untuk domestik termasuk untuk pembangkit PLN sehingga harga listrik bisa lebih murah. "Kami juga menuntut agar Pemerintah menghentikan ekspor gas alam sehingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi,” kata Jumadis.
Terkait pernyataan Presiden Jokowi harga listrik mahal karena ada calo, SP PLN berpendapat. Pertama, bahwa bagian terbesar yang mempengaruhi tarif listrik adalah harga energi primer. Karena sekitar 60% dari biaya operasi PLN adalah di bahan bakar. Sehingga apabila harga energi primer yang dibeli PLN lebih mahal maka tarif listrikpun dijual mahal juga. Misalnya harga gas alam yang dijual ke PLN ternyata rata-rata 2x lipat lebih mahal dibandingkan yang diekspor. Yang kedua adalah terkait pengoperasian sistem kelistrikan yang tidak efisien setelah adanya IPP dengan klausul take or pay - nya itu. PLN harus mengoperasikan pembangkit yang mahal dan menyetop pembangkit yang murah.
Sinyalemen terkait calo atau terjadinya kolusi yang menyebabkan tarif listrik lebih mahal seperti yang dikemukakan Presiden Jokowi di Minahasa saat peresmian PLTP Lahendong unit 5 dan 6 (27/12). Jumadis tidak menampik hal seperti itu dapat saja terjadi. Hal ini sangat mungkin dalam proses pengadaan bahan bakar yang dibeli PLN yang kenyataannya jauh lebih mahal maupun dalam proses pengadaan pembangkit IPP itu ataupun pada penyerahan pekerjaan core bisnis PLN kepada perusahaan lain yang pada akhirnya menimbulkan biaya tambahan (high cost) bagi PLN, tegas Jumadis.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Sepekan, Aliran Modal Asing ke Indonesia Masuk Tembus Rp240 Miliar
-
Bahlil akan Pangkas Produksi Nikel, Harga di Dunia Langsung Naik
-
Bahlil Ungkap Update Terkini Pemulihan Jaringan Listrik Aceh: 4 Kabupaten Pemadaman Bergilir
-
Aturan UMP Baru, 5 Provinsi Luar Jawa Jadi Kandidat Gaji Tertinggi
-
Zulkifli Zaini Jadi Komisaris Bank Mandiri, Ini Susunan Pengurus Baru
-
OJK Bentuk Direktorat Perbankan Digital Mulai Tahun 2026, Apa Tugasnya?
-
IWIP Gelontorkan Pendanaan Rp900 Juta untuk Korban Bencana di Sumatera
-
Danantara dan BP BUMN Turunkan 1.000 Relawan untuk Bencana Sumatra, Diawali dari Aceh
-
Komitmen Nyata BUMN Peduli, BRI Terjunkan Relawan ke Daerah Bencana Sumatera
-
AKGTK 2025 Akhir Desember: Jadwal Lengkap dan Persiapan Bagi Guru Madrasah