Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus pada triwulan II 2017. Surplus tercatat sebesar 3,5 miliar dolar AS, terutama disumbang oleh besarnya surplus pada neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas tumbuh 6,8 persen (yoy) khususnya karena peningkatan harga komoditas primer, sementara impor non migas tumbuh 4,9 persen (yoy) khususnya impor barang konsumsi.
Didukung oleh masih kuatnya kepercayaan investor, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan Indonesia pada triwulan II 2017 tercatat 4,3 miliar dolar AS sehingga akumulasi sampai dengan Juni 2017 mencapai 9,6 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa pada akhir triwulan II 2017 tercatat 123,1 miliar dolar AS, meningkat dari posisi akhir triwulan I 2017 sebesar 121,8 miliar dolar AS.
"Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai 8,9 bulan impor atau 8,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," kata Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Arbonas Hutabarat, di Jakarta, Kamis (20/7/2017).
Pergerakan nilai tukar rupiah cukup stabil dan cenderung menguat. Nilai tukar rupiah, secara rata-rata bulanan, tercatat menguat sebesar 0,17% ke level Rp13.298 per dolar AS. Penguatan tersebut ditopang oleh berlanjutnya penjualan valas oleh korporasi dan aliran masuk modal asing yang cukup besar ke pasar keuangan domestik, serta sejalan dengan penguatan mata uang regional. Volatilitas nilai tukar terjaga rendah disertai dengan meningkatnya efisiensi di pasar valas.
Hal ini sejalan dengan berbagai langkah pendalaman pasar valas sebagaimana tercermin dari semakin besarnya volume transaksi valas harian, termasuk transaksi derivatif. "Bank Indonesia akan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar," ujar Arbonas.
Inflasi IHK pada Juni 2017 tercatat rendah dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2017 sebesar 4,0±1 persen. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juni 2017 tercatat 0,69 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata inflasi periode lebaran dalam tiga tahun terakhir sebesar 0,85 persen (mtm). Berdasarkan komponen, inflasi yang terkendali terutama dipengaruhi inflasi volatile food dan inflasi inti yang lebih rendah dari pola historisnya. Komponen volatile food mengalami inflasi sebesar 0,65 persen (mtm), lebih rendah dari rata-rata historis periode lebaran dalam tiga tahun terakhir sebesar 1,78 persen (mtm).
Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan stabilisasi pangan Pemerintah serta koordinasi yang kuat dengan Bank Indonesia. Inflasi inti Juni 2017 tercatat 0,26 persen (mtm), lebih rendah dari pola historis inflasi inti periode lebaran tiga tahun terakhir sebesar 0,40 persen (mtm). Rendahnya inflasi inti dipengaruhi oleh permintaan domestik yang masih lemah, nilai tukar yang stabil dan ekspektasi inflasi yang terkendali. Sementara itu, inflasi kelompok administered prices tercatat cukup tinggi yaitu 2,10 persen (mtm) dipengaruhi penyesuaian tarif listrik tahap ketiga.
"Ke depan, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah di pusat dan daerah terus diperkuat untuk mengendalikan inflasi agar tetap berada pada sasarannya," jelas Arbonas.
Baca Juga: BI Pertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate Tetap 4,75 Persen
Stabilitas sistem keuangan tetap kuat didukung oleh ketahanan industri perbankan dan pasar keuangan yang terjaga. Pada Mei 2017, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan tercatat 22,7 persen, dan rasio likuiditas (AL/DPK) berada pada level 22,3 persen. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tercatat 3,1 persen (gross) atau 1,4 persen (net). Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Mei 2017 tercatat 11,2 persen (yoy), meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya 9,9 persen (yoy).
Pertumbuhan kredit Mei 2017 tercatat 8,7 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya 9,5 persen (yoy). Ke depan, pertumbuhan DPK dan kredit pada tahun 2017 diperkirakan akan membaik dan masing-masing berada dalam kisaran 9 persen - 11 persen dan 10 persen - 12 persen.
"Proyeksi pertumbuhan kredit tersebut dibayangi oleh sejumlah risiko terutama prospek pemulihan permintaan domestik dan kemajuan konsolidasi perbankan," tutup Arbonas.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- Panglima TNI Kunjungi PPAD, Pererat Silaturahmi dan Apresiasi Peran Purnawirawan
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
Pilihan
-
Investor Mundur dan Tambahan Anggaran Ditolak, Proyek Mercusuar Era Jokowi Terancam Mangkrak?
-
Desy Yanthi Utami: Anggota DPRD Bolos 6 Bulan, Gaji dan Tunjangan Puluhan Juta
-
Kabar Gembira! Pemerintah Bebaskan Pajak Gaji di Bawah Rp10 Juta
-
Pengumuman Seleksi PMO Koperasi Merah Putih Diundur, Cek Jadwal Wawancara Terbaru
-
4 Rekomendasi HP Tecno Rp 2 Jutaan, Baterai Awet Pilihan Terbaik September 2025
Terkini
-
Jam Tangan Ini Dijual Rp 7,6 Juta Buat Sindir Tarif Trump, Tertarik Beli?
-
Stimulus Kebijakan Prabowo Dorong IHSG Menghijau Selasa Pagi
-
Tambang Ilegal Ditertibkan, Ratusan Hektare Lahan Kembali ke Negara
-
Emas Antam Pecah Rekor Lagi, Harganya Jadi Rp 2.105.000 per Gram
-
Pemerintah dan Ratusan Pengusaha Bakal Berkumpul Bahas Kebijakan Sektor Perumahan
-
Investor Mundur dan Tambahan Anggaran Ditolak, Proyek Mercusuar Era Jokowi Terancam Mangkrak?
-
Ingin Cepat Punya Dana Pensiun, Generasi Z Mulai Masuk Kelompok Sandwich
-
PGAS Terus Kebut Perluasan Jaringan Gas Bumi Rumah Tangga
-
Bukan Sekadar Proyek Seksi! Hutan Utuh Justru Jadi 'Lahan Emas' Baru Bagi Investor Hijau
-
RI Tawarkan Solusi Islam & 'Harm Reduction' untuk Selamatkan Petani Tembakau dan Ekonomi Nasional