Suara.com - Akademisi dan pengamat menilai Kawasan Asia Tenggara saat ini berada dalam keadaan genting. Kawasan Asia Tenggara, tepatnya wilayah Laut China Selatan (LCS), kini menjadi tempat di mana kekuatan-kekuatan besar dunia saling berhadapan sehingga meningkatkan ketegangan Kawasan.
Bahkan bisa membuat arus lintas perdagangan Indonesia terganggu. Diplomat Madya Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia, Dino R Kusnadi, menyampaikan bahwa dalam konteks hubungan Indonesia China, diplomasi menjadi salah satu ujung tombak dalam membangun jembatan.
Apalagi, hubungan dagang China dengan Indonesia sangat menjadi sumber investasi bagi kedua negara. " Kita memang kerjasama hubungan dagang dengan Indonesia sudah sangat lama, bahkan sempat surplus: China telah menjadi salah satusahabat Indonesia sekaligus sumber investasi teratas bagi Indonesia,"tambahnya.
Namun menurut beliau, ini bukan berarti Indonesia telah condong atau tergantung pada China. Menurutnya, tingginya kerja sama ekonomi antara Indonesia dan China adalah fenomena saat ini saja, karena China menjadi salah satu negara yang dapat memberikan apa yang Indonesia butuhkan.
“Ini karena ASEAN menginginkan untuk menunjukkanASEAN sebagai sentralitas, karena kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan di mana ASEAN berada,” tuturnya.
Dengan demikian, menurut Dino, penyelesaian berbagai isu yang ada diharapkan untuk dilakukan sesuai denganmekanisme ASEAN.
Bagi Dino, mekanisme yang berpusatpada sentralitas ASEAN itu harus dilandaskan pada Treaty of Amity and Cooperation (Perjanjian Persahabatan dan KerjaSama), Deklarasi Code of Conducy (COC atau kode etikperilaku) di LCS, dan penyelesaian COC itu sendiri.
Berita baiknya, menurut Dino, pada forum keamanan maritimdi Manila pada 25 April 2025, Menteri Luar Negeri Filipina telah menyatakan bahwa ASEAN dan Tiongkok“berkomitmen secara politik” menuntaskan COC yang mengikat secara hukum paling lambat 2026.
Sementara itu, bagi Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) JohanesHerlijanto, agresivitas China dalam sekitar 15 tahun terakhirini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi bagiterciptanya ketegangan di atas.
Baca Juga: Respons Agresivitas China, Akademisi Imbau ASEAN Tingkatkan Persatuan
"Pada masa lalu, sejak zaman Deng Xiaoping hinggapemerintahan Hu Jintao, meski sudah memupuk kekuatan, China mempertahankan sikap low profile dan berupayamenyembunyikan kekuatannya. Meski terjadi keteganganantara China dengan negara-negara Asia Tenggara, sepertikonflik dengan Vietnam tahun 1974 dan 1988, sertaketegangan dengan Filipina di tahun 1995, namun ketegangansaat itu tidak meningkat seperti saat ini,”katanya.
Menurutnya, China terlihat semakin memperlihatkankekuatannya, dan bahkan aktif melakukan apa yang oleh para ahli disebut sebagai aktivitas zona abu-abu (greyzone), yaitu memobilisasi unsur-unsur maritim sipil dengan didukung olehunsur Penjaga Pantai China dan Angkatan Laut TentaraPembebasan Rakyat, untuk beraktivitas di wilayah ZonaEkonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara.
Ia berujar bahwa beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia, pernahmengalami hal serupa, yaitu menjadi sasaran dari aktivitaspelanggaran hak berdaulat oleh China, yang dilakukan China dengan berdasar pada 10 garis putus-putus yang hanya dilandasi oleh apa yang China sebut sebagai “hak sejarah”.
"Ini sebenarnya tidak sah berdasarkan hukum lautinternasional, yaitu UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea)," katanya
Dia beranggapan bahwa negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang tergabung dalamAsosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) perlumeningkatkan persatuan, dan kemampuan dalam menghadapisikap agresif China tersebut. Peningkatan persatuan itu penting karena menurut RistianAtriandi Supriyanto, dosen Hubungan InternasionalUniversitas Indonesia, negara-negara ASEAN justru sedangterbelah dalam menghadapi prilaku agresif China di atas.
“Sebagian dari negara-negara ASEAN mengambil pendekatanlunak karena merasa lemah menghadapi China, atau merasaChina terlalu penting, terutama secara ekonomi,” tuturnya.
Berita Terkait
-
Bukan Sekadar Omon-Omon: Kiprah Menkeu Purbaya di Ekonomi Indonesia
-
Sinopsis Silent Honor, Drama China Genre Politik yang Dibintangi Yu He Wei
-
Bukan Cuma Drakor, 4 Drama China Tema Time Travel Ini Wajib Masuk Watchlist
-
Sherly Tjoanda Lulusan Apa? Pimpin Maluku Utara Capai Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia
-
6 Shio Paling Hoki 4 Oktober 2025, Cinta dan Rezeki Mengalir Deras
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
OJK: Peluang Kecanggihan Teknologi Infomasi di Industri Keuangan, Apa Untungnya?
-
Berkomitmen pada Keberlanjutan, Brantas Abipraya Meraih Platinum Award CSRSDGESG 2025
-
Rupiah Dibuka Demam Lawan Dolar Pada Perdagangan Hari Ini, Sentuh Level Rp 16.591
-
IHSG Dibuka Menghijau, Tiga Saham Bank Ini Malah Berwarna Merah
-
PLTS Terapung di Waduk Saguling Mulai Dibangun, Bisa Suplai Listrik 50 Ribu Rumah
-
OPEC+ Ngotot Tambah Produksi 137 Ribu BPH, Pasar Panik!
-
Ekonom Sarankan Pemerintah Beri Diskon Tarif Listrik Lagi Demi Daya Beli
-
IHSG Dibuka Hijau, Investor Pantau Data Ekonomi Domestik Penting.
-
Awali Pekan Ini, Harga Emas Antam Melompat ke Rekor Tertinggi Jadi Rp 2.250.000 per Gram
-
Gubernur Bank Indonesia : 94 Persen Bank Syariah Main di Pasar Uang