Bisnis / Energi
Rabu, 15 Oktober 2025 | 14:18 WIB
Pembangkit listrik batubara di Suralaya, Cilegon, Banten, Indonesia (Greenpeace)
Baca 10 detik
    • Indonesia menunda target puncak emisi karbon dari 2030 ke 2037, memperburuk risiko krisis iklim.
    • Produksi PLTU batu bara masih meningkat hingga 2037, membuat penurunan emisi sulit tercapai.

    • Masyarakat sipil menilai solusi iklim sejati ada di tingkat lokal, bukan di proyek besar yang mengorbankan lingkungan.

Ia mencontohkan proyek hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang justru menimbulkan perebutan tanah, konflik agraria, dan pencemaran lingkungan. “Perlindungan terhadap kelompok rentan tidak terlihat dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia,” katanya.

Torry juga menyoroti minimnya transparansi dalam proses kebijakan iklim. “Ada mekanisme-mekanisme yang tidak cukup transparan. Kalau pun ada partisipasi, itu tokenisme, alias partisipasi semu. Prosesnya kita tidak tahu. Hari ini diumumkan akan ada partisipasi publik, besoknya sudah ketok palu kebijakan disahkan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, kebijakan iklim yang efektif bukan berasal dari proyek besar yang mengorbankan hutan, melainkan dari proyek kecil yang masif dan inklusif. “Komunitas lokal lebih tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Bukan pelepasan lahan untuk proyek ketahanan pangan dengan membabat hutan, yang seharusnya dijaga karena kekayaan biodiversitasnya,” kata Torry.

Load More