Bisnis / Makro
Jum'at, 14 November 2025 | 11:27 WIB
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (Suara.com/Bagaskara)
Baca 10 detik
  • Menteri Keuangan menunda kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), sebuah kebijakan yang diapresiasi petani sebagai langkah bijak setelah kenaikan tarif agresif tahunan.
  • Asosiasi Petani Tembakau Indonesia berharap moratorium cukai ini diiringi perbaikan penyaluran DBHCHT agar petani dan industri dapat bernapas lega.
  • Federasi Serikat Pekerja menilai kebijakan cukai sebelumnya merugikan tenaga kerja, sehingga moratorium diharapkan menjadi titik pemulihan industri legal dari tekanan kenaikan tarif.

Suara.com - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memang telah menunda kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok. Namun, kebijakan itu masih dinilai kurang greget oleh para petani dan buruh.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K Mudi, menyebut memang moratorium cukai sebagai angin segar bagi petani yang selama bertahun-tahun terus terpukul oleh kenaikan tarif cukai.

"Langkah yang dilakukan oleh Pak Purbaya adalah langkah yang sangat bijak dan sangat berani. Sangat berani karena hampir 6–7 tahun terakhir, kita itu terus-menerus mengalami kenaikan dari cukai antara 12-15 persen setiap tahun. Pernah tahun 2020 yaitu 23 persen," ujar Mudi di Jakarta, Senin (14/11/2025).

Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). [ANTARA FOTO/Aprillio Akbar]

Namun, Ia berharap momentum moratorium disertai perbaikan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) agar manfaatnya benar-benar dirasakan petani dan pekerja.

"Kabar baiknya, dari dulu sampai sekarang, cengkeh yang tidak pernah mendapatkan DBHCHT tahun ini bisa menyerap DBHCHT. Artinya, apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini benar-benar menjadi angin segar supaya baik dari sisi hulu maupun hilir ini, petani dan industri bisa bernapas agak lega," imbuhnya.

Mudi menilai, kebijakan cukai yang terlalu agresif membuat produksi tembakau nasional anjlok, dari 280 ribu ton pada 2019 menjadi hanya sekitar 180 ribu ton saat ini.

"Kita lagi anomali iklim, produksi kita turun mulai dari 2019 yang awalnya 280 ribu ton, sekarang tinggal di angka 180 ribu ton. Turun 100 ribu. Berat. Kemudian kita juga lagi mengalami penurunan penyerapan dari industri. Ini adalah dampak dari kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi," jelasnya.

Penurunan ini berdampak langsung pada kesejahteraan petani di 14 provinsi penghasil tembakau. Hampir seluruh panen masih bergantung pada industri tembakau.

"99 persen tembakau petani kita itu masih dibeli oleh industri tembakau. Belum ada instrumen penelitian dari universitas mana pun bahwa potensi di industri tembakau, di tembakau ini, sebenarnya bisa dipergunakan untuk macam-macam," bebernya.

Baca Juga: Sidak Bea Cukai, Purbaya Kaget Temukan Barang Impor Harga Rp 117 Ribu Tapi Dijual Rp 50 Juta

Dari sisi buruh, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menilai kebijakan fiskal selama ini belum berpihak pada buruh.

Menurutnya, meski pemerintah kerap berdalih demi kesehatan dan penerimaan negara, kenyataannya pekerja yang paling dirugikan.

"Kebijakan pemerintah selama ini baik terhadap fiskal maupun non-fiskal sebetulnya jelas-jelas belum tentu efektif, tapi korbannya tenaga kerja. Fakta loh ini ya. Jadi belum tentu penerimaan negara tercapai, belum tentu target kesehatan tercapai seperti yang mereka harapkan. Tapi jelas pekerja dikorbankan," kata Sudarto.

Ia berharap moratorium cukai menjadi titik balik pemulihan industri legal yang tertekan oleh kenaikan tarif dan maraknya rokok ilegal. Menurutnya, langkah ini sejalan dengan orientasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

"Dalam momentum Pak Prabowo ini punya awareness terhadap yang namanya kerakyatan, ketahanan ekonomi, dan industri padat karya, itu memang harus mendapat perhatian serius," pungkas Sudarto.

Load More