Suara.com - Bagi Grace Russell, stroke adalah penyakit yang identik terjadi pada orang tua. Tapi siapa sangka, ia harus berjuang untuk sembuh dari penyakit ini di usia 17 tahun, ketika teman-teman sebayanya sedang asyik bersosialisasi dan bersenang-senang.
Grace mengalami sakit kepala selama beberapa minggu sebelum serangan stroke datang, tetapi ia tidak memeriksakan diri ke dokter karena merasa itu hanyalah faktor stres yang dialaminya.
Grace bercerita bahwa ia bangun pada Minggu pagi dengan gejala mirip flu dan ketidakmampuan mendadak untuk memusatkan penglihatannya dengan benar.
"Dan ketika saya pergi ke gym, saya tiba-tiba tidak bisa merasakan bagian tubuh sebelah kanan saya," katanya. Grace pun menelepon ibunya dan menyuruhnya datang untuk menjemput."
Ingatan terakhir Grace adalah tentang orangtuanya yang tiba dan ibunya memanggil namanya. Grace dibawa ke ruang gawat darurat, dalam kondisi tidak bisa membaca kalimat dan berkata-kata.
"Hasil scan MRI mengungkapkan bahwa saya mengalami perdarahan dan ada gumpalan darah di otak saya," kata Grace. "Saya menjerit kesakitan."
Di rumah sakit, dokter mengatakan sudah terlambat untuk memberikan obat penghilang gumpalan darah. Mereka harus melakukan kraniotomi, mengeluarkan sepertiga tengkoraknya agar otaknya yang membengkak mendapat ruang yang cukup. Dia juga menjalani tracheostomy dan koma selama 11 hari. Dia hanya memiliki peluang bertahan hidup sebanyak 20 persen.
Ketika bangun, Grace tidak bisa menggerakkan sisi kanan tubuhnya. "Aku tidak bisa membaca, menulis, berbicara," katanya. "Pikiranku baik-baik saja, tapi tubuhku tidak bekerja sama. Aku terjebak dalam pikiranku," katanya seperti dilansir dari laman Prevention.
Grace dipulangkan dua bulan kemudian, dan setahun kemudian, ahli bedah menaruh plat titanium di kepalanya.
Baca Juga: Gemetar dan Menangis, Penelanjang Sejoli di Tangerang Minta Ampun
Grace yang saat ini berusia 25 tahun menderita sindrom pasca stroke, di mana saraf di punggungnya mengirimkan sinyal rasa sakit ke otaknya. "Rasa sakitnya sangat menyiksa," katanya.
Dia mengonsumsi obat penghilang rasa sakit yang kuat, tetapi menderita efek samping termasuk kehilangan nafsu makan dan sakit kepala. "Tanpa obat-obatan, saya tidak akan bisa berjalan atau pergi bekerja," kata Grace, yang meski telah mengonsumsi 12 tablet sehari dan tidur selama 18 jam tetapi masih kerap merasa lelah.
PASCA STROKE
Sejak serangan itu, Grace merasa seperti wanita berusia 90 tahun. Ia harus berjuang melawan depresi. "Ini telah mengubah kepribadian saya," katanya.
Salah satu bagian tersulit adalah melihat teman-temanmu melanjutkan kehidupan normal mereka, sementara dia sendiri menderita. "Aku merasa seperti tubuhku mengkhianatiku. Aku sangat marah dan kesal, terbaring di tempat tidur rumah sakitku dan menangis. Aku bertanya, 'kenapa aku?' dan 'apa yang sudah saya lakukan sehingga harus mengalami ini?'"
KONTRASEPSI DAN RISIKO STROKE
Grace kemudian mengetahui bahwa dia memiliki mutasi gen yang membuatnya lebih rentan terhadap pembekuan darah, dan karena itu berisiko terkena stroke. Dan, pil kontrasepsi yang rutin dikonsumsinya sejak remaja ternyata meningkatkan risiko pembekuan darah, demikian dikatakan dokter yang menangani Grace waktu itu.
"Saya membaca brosur pil kontrasepsi yang menyebut-nyebut soal trombosis, tetapi saya tidak tahu apa itu. Dan katanya, hal itu hanya terjadi pada 1 di antara 5 juta perempuan, membuat saya mengabaikannya," kata Grace.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
-
Kuota Pemasangan PLTS Atap 2026 Dibuka, Ini Ketentuan yang Harus Diketahui!
Terkini
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan
-
Fenomena Sadfishing di Media Sosial, Bagaimana Cara Mengatasinya?
-
5 Kesalahan Umum Saat Memilih Lagu untuk Anak (dan Cara Benarnya)
-
Heartology Cetak Sejarah: Operasi Jantung Kompleks Tanpa Belah Dada Pertama di Indonesia