Suara.com - Maksud hati ingin menjaga dan memberikan yang terbaik, orangtua justru jadi terkesan overprotektif. Hal itu karena orangtua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, hingga tak jarang mereka membuat banyak aturan untuk diikuti si anak, bahkan ikut campur dalam segala urusannya.
Perilaku seperti itu tentu tidak disarankan, karena bisa menjerumuskan orangtua menjadi toxic parent.
"Segala sesuatu yang berlebihan kan memang tidak baik. Tapi kita perlu lihat rentang usianya dulu. Kalau anak masih SD, mungkin harus ekstra menjaga. Tapi kalau sudah remaja, misal gak boleh main sama teman-temannya, itu bisa menganggu proses perkembangan anak," kata psikolog Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi dalam siaran langsung bersama Parenting Indonesia, Rabu (12/8/2020).
Juwita menjelaskan, anak remaja membutuhkan sosialisasi dengan teman sebayanya sebagai bagian dari proses tumbuh kembang. Jika hal itu terlalu dibatasi oleh orangtua, tentu prosesnya bisa jadi terganggu bahkan membuat anak merasa tidak nyaman dengan orangtua.
Ia menambahkan, orangtua tetap perlu memberikan aturan kepada anak. Asalkan dibuat fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan anak.
"Kalau orangtua tidak sesuai dalam merespon kebutuhan dan tugas perkembangan anak, bisa berdampak berbahaya untuk anak. Jadi aturan tetap penting tapi fleksibel," katanya.
Juwita menjelaskan, dalam ilmu psikologi sebenarnya tidak dikenal istilah toxic parenting. Tetapi bisa juga disebut sebagai keluarga yang tidak bisa berfungsi secara sehat.
Meski begitu, kondisi itu bisa saja dialami oleh setiap keluarga. Tetapi yang berbahaya jika terjadi secara terus menerus dan jangka waktu lama.
"Namanya orangtua pasti mengarahkan sesuatu yang harus dilakukan. Tapi apa yang dianggap kebahagian orangtua belum tentu kebahagian anak," demikian Juwita menekankan.
Baca Juga: Berapa Jarak Ideal Kelahiran Antar Anak Versi BKKBN?
Menurutnya, fungsi keluarga secara sehat artinya orangtua mampu memberikan rasa aman kepada anak juga memenuhi kebutuhannya. Namun yang kerap kali terlupa, kebutuhan anak sebenarnya bukan hanya makanan, tempat tinggal, dan pendidikan.
"Sebagai anak juga membutuhkan kebutuhan kehangatan, diajak ngobrol heart to heart. Yang jadi gak sehat ketika orangtua berharap anak yang memenuhi kebutuhan mereka, apalagi kalau anak masih di bawah 18 tahun," ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Oktober 2025: Banjir 2.000 Gems, Pemain 110-113, dan Rank Up
Pilihan
-
5 Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Supaya Anak Peduli Lingkungan, Begini Cara Bangun Karakter Bijak Plastik Sejak Dini
-
Kemendagri Dorong Penurunan Angka Kematian Ibu Lewat Penguatan Peran TP PKK di Daerah
-
Gaya Hidup Modern Bikin Diabetes di Usia Muda Meningkat? Ini Kata Dokter
-
Saat Kesehatan Mata Jadi Tantangan Baru, Ini Pentingnya Vision Care Terjangkau dan Berkelanjutan
-
Bikin Anak Jadi Percaya Diri: Pentingnya Ruang Eksplorasi di Era Digital
-
Rahasia Tulang Kuat Sejak Dini, Cegah Osteoporosis di Masa Tua dengan Optimalkan Pertumbuhan!
-
Terobosan Baru! MLPT Gandeng Tsinghua Bentuk Program AI untuk Kesehatan Global
-
Ubah Waktu Ngemil Jadi "Mesin" Pembangun Ikatan Anak dan Orang Tua Yuk!
-
Kasus Kanker Paru Meningkat, Dunia Medis Indonesia Didorong Adopsi Teknologi Baru
-
Osteoartritis Mengintai, Gaya Hidup Modern Bikin Sendi Cepat Renta: Bagaimana Solusinya?