Suara.com - Budayawan sekaligus pastor Katolik Franz Magnis-Suseno berpendapat negara dalam hal ini pemerintah Indonesia, kurang melindungi hak dan kebebasan beragama kaum minoritas.
"Yang menjadi sumber masalah yakni Indonesia hanya mengakui enam agama, komunitas agama di luar enam agama yang diakui tersebut, terutama golongan Sunni dan Syiah, tidak dianggap ada," ujarnya dalam sebuah konferensi berjudul "Agama, Negara, dan Masyarakat" di Goethe Institut, Jakarta, Senin (2/11/2015).
Merasa tidak mendapat perlindungan penuh dari negara, kata lelaki yang akrab disapa Romo Magnis, menyebabkan golongan minoritas seringkali menjadi subjek kekerasan atas nama agama.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh akademisi dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Siti Ruhaini Dzuhayatin yang mengkritisi penerapan hukum syariat di Aceh yang menurutnya lebih merugikan perempuan.
Sebagai contoh, kata dia, imbauan agar perempuan tidak mengenakan celana panjang telah merenggut kebebasan berekspresi seseorang.
"Meskipun sifatnya berupa imbauan, namun mengatur cara berpakaian merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi yang seharusnya dihormati oleh orang lain," tutur Siti Ruhaini.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar lebih mendukung prinsip multikulturalisme di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Sementara itu, Direktur Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM Bambang Iriani Djajaatmadja mengungkapkan bahwa dari segi perangkat hukum, pemerintah telah menyediakan aturan-aturan yang menjamin perlindungan HAM dalam bidang kebebasan beragama.
Terkait dengan peraturan daerah (perda) syariat, menurut dia itu hanya sebuah sebutan yang dikaitkan dengan aturan-aturan Islam.
"Dari 151 perda syariat yang berhasil dihimpun hingga 2012, yang dinamakan perda sendiri tidak sampai 30 persennya. Sedangkan sisanya hanya berupa imbauan yang sifatnya umum dan normatif seperti cara berpakaian," katanya.
Namun, diakuinya kebebasan beragama yang diatur dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945 tersebut masih terganjal dalam hal pelaksanaan.
"Sebagai contoh, meskipun sudah diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, namun dalam pelaksanaannya tetap saja ditemui masalah seperti insiden pembakaran gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu," ujar Bambang Iriani. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Karir Ambyar! Brigadir YAAS Dipecat Polda Kepri Usai Aniaya Calon Istri yang Hamil
-
Saksi Ungkap Pertamina Gunakan Kapal PT JMN karena Keterbatasan Armada Domestik
-
Bupati Bekasi dan Ayah Dicokok KPK, Tata Kelola Pemda Perlu Direformasi Total
-
Menteri Mukhtarudin Terima Jenazah PMI Korban Kebakaran di Hong Kong
-
Panas Paripurna Ranperda Perubahan Badan Hukum PAM Jaya, PSI Tetap Tolak Privatisasi BUMD Air Minum
-
KPK Ungkap Kepala Dinas Sengaja Hapus Jejak Korupsi Eks Bupati Bekasi
-
Bupati Bekasi di Tengah Pusaran Kasus Suap, Mengapa Harta Kekayaannya Janggal?
-
6 Fakta Tabrakan Bus Kru KRI Soeharso di Medan: 12 Personel Terluka
-
Pesan di Ponsel Dihapus, KPK Telusuri Jejak Komunikasi Bupati Bekasi
-
Rotasi 187 Perwira Tinggi TNI Akhir 2025, Kapuspen Hingga Pangkodau Berganti