Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya memeriksa para pejabat dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Beberapa hari lalu, KPK juga memeriksa 20 orang Petani Tambak Dipasena di Propinsi Lampung.
"Pemeriksaan dilakukan di Polda Lampung untuk mendalami sejumlah hal, mulai dari kontrak, pinjaman, proses pengucuran dana, proses pengembalian kewajiban, dan proses pengembalian kewajiban atau pinjaman tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Selasa (16/5/2017).
Menurut Febri terkait kasus yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun tersebut, KPK masih fokus mendalami peran tersangka Syarifuddin Arsyad Tumenggung. Karena itu, pada hari ini KPK memeriksa Pelaksana Tugas Deputi BPPN Bidang Asset Management Investment (AMI) Stephanus Eka Dasawarsa Sutantyo.
"Sampai saat ini KPK dalam penanganan BLBI terus mendalami peran dari tersangka SAT dan pihak-pihak lain yang terkait dengan proses penerbitan SKL tersebut," katanya.
Lebih lanjut kata Febri, untuk mendalami kasus tersebut, KPK juga menyita sejumlah dokumen dari kantor Notaris di Lampung. Diduga dokumen tersebut berisikan perjanjian kerjasama terkait BLBI.
"Pada hari Senin dilakukan pernyitaan sejumlah dokumen terkait dengan perjanjian kerjasama dari salah satu kantor notaris di Lampung," kata Febri.
Dalam perkara ini, KPK sudah menetapkan satu orang sebagai tersangka, yakni Syafruddin Arsyad Temenggung selaku mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kasus berawal pada Mei 2002, dimana Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Namun pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
Baca Juga: KPK Sita Dokumen SKL Skandal BLBI
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI. KPK menyebut perbuatan Syafruddin menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun, karena hanya membayar RP1,1 triliun dari angka RP4,8 triliun tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 5 HP Murah RAM 8 GB Memori 256 GB untuk Mahasiswa, Cuma Rp1 Jutaan
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Sunscreen Terbaik Mengandung Kolagen untuk Usia 50 Tahun ke Atas
- 8 Lipstik yang Bikin Wajah Cerah untuk Ibu Rumah Tangga Produktif
Pilihan
-
Vinfast Limo Green Sudah Bisa Dipesan di GJAW 2025, Ini Harganya
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
Terkini
-
Gus Yahya Bantah Mundur dari PBNU, Sebut Syuriyah Tidak Punya Kewenangan
-
Negosiasi Panas Krisis Iklim Kandas Gegara Kebakaran di Dapur COP30, Apa Penyebabnya?
-
KPK Tancap Gas Sidik Korupsi Bansos, Meski Rudi Tanoe Terus Ajukan Praperadilan
-
Malam Penganugerahan Pegadaian Media Awards 2025 Sukses Digelar, Ini Daftar Para Jawaranya
-
Sekjen PBNU Minta Pengurus Tenang di Tengah Isu Pelengseran Gus Yahya dari Kursi Ketua Umum
-
Kader Muda PDIP Ditantang Teladani Pahlawan: Berjuang Tanpa Tanya Jabatan
-
Kementerian PU Tingkatkan Kapasitas Petugas Pelayanan Publik
-
Bukan Cuma Guru Ngaji, Ketua Kelompok Pengajian di Jember Kini Dapat Uang Insentif
-
Siswa Mengadu soal Perundungan di Sekolah, Wagub Rano Karno Janji Usut Tuntas
-
Mendagri Harap Karang Taruna Jadi Motor Penggerak Perubahan Desa